Ecobiz.asia — ReforMiner Institute menekankan pentingnya memperkuat industri hulu minyak dan gas (migas) nasional sebagai strategi menekan ketergantungan impor dan memaksimalkan manfaat ekonomi dari kebijakan hilirisasi migas.
Tanpa dukungan sektor hulu yang kuat, hilirisasi dinilai akan kehilangan esensinya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan bahwa pelaksanaan hilirisasi migas akan berdampak signifikan terhadap ekonomi nasional hanya jika berbasis pada produksi migas dalam negeri.
Ia mengungkapkan, kajian ReforMiner menunjukkan bahwa investasi Rp1 triliun di sektor hilir seperti industri petrokimia dapat menghasilkan nilai tambah ekonomi sekitar Rp12,81 triliun bila menggunakan bahan baku migas domestik.
“Jika mengandalkan migas impor, nilai tambahnya hanya sekitar Rp7,53 triliun,” kata dia dalam keterangannya, Kamis (24/7/2025).
Komaidi juga menyoroti lonjakan impor minyak Indonesia yang meningkat drastis dalam satu dekade terakhir, dari sekitar 400 ribu barel per hari pada 2010 menjadi sekitar 1 juta barel per hari pada 2024.
Kenaikan ini dipicu oleh peningkatan konsumsi di dalam negeri yang tidak diimbangi oleh pertumbuhan produksi.
Situasi ini menurutnya menunjukkan lemahnya posisi Indonesia dalam rantai pasok energi global dan berkontribusi pada ketergantungan terhadap negara lain.
Bahkan dalam negosiasi dagang dengan Amerika Serikat, penurunan tarif ekspor produk migas Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen era Presiden Donald Trump, dinilai tak lepas dari komitmen Indonesia untuk mengimpor migas AS senilai US$15 miliar atau sekitar Rp240 triliun.
Meski memiliki peran strategis, industri hulu migas nasional dihadapkan pada berbagai tantangan yang menghambat peningkatan produksi dan penambahan cadangan.
Beberapa kendala utama meliputi rumitnya perizinan, ketergantungan pada ladang minyak tua yang membutuhkan perlakuan fiskal khusus, serta belum adanya pemisahan yang jelas antara administrasi Kontrak Kerja Sama (KKS) dan keuangan negara, yang berpotensi menimbulkan risiko hukum.
ReforMiner menilai bahwa hambatan-hambatan tersebut berakar pada tidak sinkronnya Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 dengan praktik Kontrak Kerja Sama. Ketidaksesuaian ini menciptakan ketidakpastian hukum, fiskal, dan birokrasi yang rumit, sehingga menghambat investasi di sektor hulu.
Untuk memperbaiki kondisi ini, ReforMiner mendorong revisi UU Migas yang dapat mengembalikan prinsip-prinsip dasar dalam KKS. Tujuannya adalah menciptakan iklim investasi yang lebih pasti dan efisien, sekaligus memastikan bahwa hilirisasi benar-benar memberikan manfaat ekonomi yang maksimal bagi negara. ***