Ecobiz.asia – Presiden Prabowo Subianto dalam misi Asta Cita menempatkan ketahanan pangan, energi, dan air sebagai prioritas nasional. Sebagai bagian dari tindak lanjut misi tersebut, pemerintah menetapkan 17 program prioritas yang dituangkan dalam RPJMN 2025–2029. Salah satunya adalah pengembangan energi terbarukan, termasuk bioetanol berbasis aren.
Pemerintah telah menargetkan penanaman aren di atas lahan seluas 2 juta hektare sebagai sumber energi terbarukan. Kementerian Kehutanan berkomitmen menyediakan separuhnya, yakni 1 juta hektare, terutama di kawasan perhutanan sosial. Dengan asumsi satu hektare kebun aren dapat menghasilkan 24.000 liter bioetanol per tahun seperti hitungan PT Pertamina, maka potensi produksi nasional mencapai 48 juta liter—melebihi kebutuhan nasional saat ini yang sekitar 40 juta liter per tahun.
Ihwan, S.Sos, M.Si, Analis Kebijakan Ahli Madya, Kementerian Kehutanan
Secara teknis, satu pohon aren mampu menghasilkan 20 liter nira per hari, yang dapat dikonversi menjadi sekitar 2 liter bioetanol. Di Jawa Barat saja, terdapat potensi lahan aren seluas 29.000 hektare yang diperkirakan mampu menghasilkan sekitar 696.000 liter bioetanol setiap tahunnya.
Namun demikian, tantangan terbesar justru berasal dari aspek sosial dan ekonomi. Selama ini, petani aren telah terbiasa memproduksi gula semut dari nira—komoditas yang lebih cepat menghasilkan nilai ekonomi dibanding bioetanol. Belum lagi produk turunan lain dari aren seperti kolang-kaling, ijuk, dan tepung aren yang belum sepenuhnya dioptimalkan nilai ekonominya. Saat ini belum tersedia data terukur mengenai produksi dan nilai ekonomi bioetanol dari aren, khususnya yang berasal dari kawasan perhutanan sosial.
Baca juga: Menteri Kehutanan dan Pertamina NRE Dorong Program Aren Nasional untuk Pengembangan Bioetanol
Di samping persoalan lahan dan kultur budidaya, keberhasilan pengembangan aren sebagai bahan baku bioetanol juga sangat ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur, nilai keekonomian, dan akses pasar. Ke depan, strategi pengembangan bioetanol dari aren harus mencakup dukungan kebijakan, model bisnis yang inklusif bagi petani, serta jaminan rantai pasok yang efisien.
Oleh karena itu, diperlukan kajian mendalam dan pendekatan lintas sektor untuk menjawab pertanyaan krusial: apakah pengembangan bioetanol dari aren sungguh menguntungkan dan realistis bagi petani? Tulisan ini memberi beberapa rekomendasi kepada pemangku kepentingan untuk bisa menjawab apakah mungkin mengubah aren sebagai sumber utama pengembangan bioetanol nasional.
Potensi Agroforestry
Data Ditjen Perhutanan Sosial menunjukkan bahwa dari target 12,7 juta hektare, pemerintah telah menyetujui 8,01 juta hektare perhutanan sosial. Dari total tersebut, sekitar 1,9 juta hektare dialokasikan untuk mendukung ketahanan pangan dan 1,1 juta hektare untuk pengembangan tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK) melalui skema agroforestry.
Program ini merupakan bagian dari kebijakan nasional untuk pemerataan ekonomi dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Lalu, di mana saja potensi kawasan agroforestry itu berada?
Baca juga: Kemenhut Luncurkan MOOC, Kembangkan Kompetensi Pendamping Perhutanan Sosial
Menurut Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, potensi tersebut tersebar di 37 provinsi dengan berbagai skala. Sepuluh provinsi tercatat memiliki areal agroforestry skala besar, yaitu Papua Selatan (174.571 ha), Jawa Timur (153.386 ha), Kalimantan Tengah (132.834 ha), Maluku Utara (145.043 ha), Maluku (142.195 ha), Kalimantan Timur (116.921 ha), Kalimantan Barat (111.063 ha), Papua Barat Daya (92.715 ha), Jambi (76.949 ha), Sumatera Barat (66.673 ha), Total luas dari sepuluh provinsi tersebut mencapai sekitar 1,21 juta hektare.
Selain di areal perhutanan sosial, potensi agroforestry juga masih ada di di kawasan hutan produksi (HP), hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Melihat potensi luas kawasan hutan untuk agrofestry tersebut, perlu segera didorong agar dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan, energi dan air, termasuk tanaman aren didalamnya.
Di antara wilayah tersebut, Sulawesi menonjol sebagai kawasan dengan potensi aren yang sangat tinggi. Dari sisi kelembagaan, Sulawesi juga tercatat sebagai provinsi dengan jumlah Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) khusus aren terbanyak di Indonesia, yakni sebanyak 131 KUPS. Hal ini menegaskan besarnya peluang wilayah ini sebagai pusat pengembangan industri bioetanol nasional.
Hingga saat ini, KUPS-KUPS tersebut telah memproduksi sekitar 593.033 kg nira aren dengan nilai ekonomi mencapai lebih dari Rp16 miliar. Tak hanya mendukung ketahanan energi, aktivitas ini juga berkontribusi langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal serta pelestarian lingkungan.
Baca juga: Ditetapkan Sebagai Proyek Strategis Nasional, Perhutanan Sosial Terus Digeber Kemenhut
Pengelolaan Aren
Untuk menghasilkan nira aren yang berkualitas, diperlukan pengelolaan yang baik mulai dari tahap penanaman hingga pemanenan. Dalam sistem agroforestry, pola tanam yang dianjurkan adalah jarak 4×10 meter, dengan jalur tanam selebar 10 meter yang membentang dari timur ke barat. Jalur ini dapat ditanami tanaman sela semusim dan diperlebar menjadi 4×12 meter bila diperlukan. Untuk tujuan konservasi, jarak tanam yang ideal adalah 4×5 meter, sedangkan untuk taman agrowisata dianjurkan 5×10 meter.
Pemanenan nira dilakukan melalui penyadapan pada pohon aren yang telah berumur 6–7 tahun, saat bunga jantan mulai muncul. Penyadapan bisa dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore, dengan hasil rata-rata 6,7 liter per hari per pohon, atau sekitar 900 hingga 1.600 liter nira per pohon per tahun (Litbang Perkebunan, Kementan).
Gula Aren
Melimpahnya produksi nira ini menjadikan aren sebagai salah satu sumber bahan baku bioetanol yang sangat potensial. Aren tumbuh luas di berbagai wilayah Indonesia, dengan kadar sukrosa tinggi yang sangat cocok untuk fermentasi menjadi bioetanol. Ditambah lagi, bioetanol dari aren merupakan bahan bakar ramah lingkungan karena menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih rendah dibandingkan bahan bakar fosil.
Karena itu, pengembangan bioetanol dari aren bukan hanya menjanjikan secara ekologis, tetapi juga ekonomis. Ini bisa menjadi strategi nasional untuk meningkatkan pendapatan negara sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.
Namun, agar potensi ini dapat dimaksimalkan, kualitas bahan baku juga harus diperhatikan. Faktor-faktor seperti jenis varietas aren, kondisi tanah, dan teknik penanaman sangat mempengaruhi hasil produksi. Oleh karena itu, diperlukan dukungan riset dan pengembangan yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas tanaman aren dan efisiensi produksinya sebagai sumber bioenergi masa depan. (sumber: Aren Indonesia-Word Press.com.weblog).
Akses Pasar
Pasar gula aren dan bioetanol menunjukkan prospek cerah. Pasar bioetanol global diperkirakan akan mencapai 134,5 miliar dolar AS pada 2031, didorong oleh meningkatnya kesadaran terhadap perubahan iklim dan transisi ke energi bersih. Banyak negara telah mengadopsi kebijakan yang mendukung penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif.
Untuk memaksimalkan peluang ini, diperlukan strategi hilirisasi bioetanol, seperti Pengembangan industri turunan (etil asetat, etil asetat glasial, dan bahan kimia lainnya); Ekspansi pasar ekspor untuk meningkatkan devisa negara; Penggunaan bioetanol sebagai bahan baku industri kimia; Pembangunan sistem logistik yang efisien untuk menekan biaya distribusi;
Namun, hilirisasi bioetanol di Indonesia masih menghadapi sejumlah kendala, antara lain Ketergantungan tinggi pada impor BBM yang menghambat substitusi energi; Ketersediaan bahan baku seperti tebu dan aren masih terbatas; Regulasi dan kebijakan (termasuk harga dan subsidi) belum mendukung industri bioetanol; Infrastruktur pengolahan dan penyimpanan yang belum memadai.
Mengatasi hambatan ini membutuhkan kolaborasi erat antara pemerintah dan pelaku industri. Langkah prioritas meliputi peningkatan pasokan bahan baku, penguatan teknologi dan infrastruktur, serta penyusunan regulasi yang mendorong pertumbuhan industri bioetanol nasional.
Baca juga: Dekarbonisasi Energi, Indonesia-Jepang Kembangkan Bioenergi Hingga Hidrogen
Peran Petani Aren
Di Jawa Barat, terutama di kawasan Perhutanan Sosial seperti KTH Satria Mandiri dan LPHD Ciputri, ribuan pohon aren tumbuh secara alami maupun hasil budidaya petani. Aren dikenal tangguh, tidak membutuhkan pupuk atau perlakuan khusus, dan cocok untuk berbagai kondisi agroklimat.
Namun, pemanfaatannya belum merata. Di Cianjur bagian utara, masyarakat masih bergantung pada pohon aren liar. Tradisi dan kearifan lokal juga turut memengaruhi, misalnya kepercayaan bahwa penderes harus memenuhi syarat tertentu seperti tidak mandi atau memakai wangi-wangian agar nira tetap mengalir. Hal ini, ditambah kekurangan tenaga penyadap, membuat produktivitas rendah.
Sebaliknya, di Cianjur selatan—khususnya Desa Kemang, Naringgul—pengembangan aren jauh lebih maju. Desa ini telah menjadi pusat produksi gula aren dan memiliki rantai pasok yang kuat untuk memenuhi kebutuhan lokal. Meski begitu, petani skala kecil masih banyak yang terjerat sistem “ozon” atau tengkulak, yang memaksa mereka menjual produk di bawah harga pasar.
Untuk mendorong produktivitas, pemerintah perlu memberi perhatian serius pada pengembangan produk turunan aren seperti gula semut, kolang-kaling, ijuk, dan sagu. Pembinaan dan edukasi kepada KUPS juga penting agar petani siap menghadapi lonjakan permintaan, terutama ketika pasokan nira terbatas.
Contoh menarik datang dari Kampung Adat Kuta di Ciamis, tempat pohon aren menjadi bagian dari identitas budaya. Mayoritas warga adalah petani aren, dan pengelolaan kawasan hutan adat Leuweung Gede dilakukan dengan kearifan lokal. Aturan adat melarang penebangan pohon aren dan pengambilan sumber daya hutan sembarangan, menjaga ekosistem tetap lestari.
Dari total lahan 185 hektare, sekitar 100 hektare telah ditumbuhi 2.300 pohon aren secara alami, dengan 1.200 di antaranya sudah produktif. Dengan rata-rata produksi 20 liter nira per pohon per hari (10 liter pagi dan 10 liter sore), Kampung Kuta menghasilkan 24.000 liter nira per hari. Ini setara dengan 2,4 ton gula aren per hari, atau sekitar 864 ton per tahun. Dengan harga Rp30.000/kg, total pendapatan masyarakat bisa mencapai Rp25,9 miliar per tahun.
Menyambut wacana pengembangan industri bioetanol dari aren, masyarakat adat Kampung Kuta menyatakan kesiapan mereka—dengan catatan kebutuhan gula aren nasional tetap menjadi prioritas utama. Sisa produksi nira dapat dialihkan untuk bioetanol guna memotong rantai pasok dan meningkatkan pendapatan petani.
Pertamina Geothermal (PT PGE Kamojang) bahkan telah menawarkan kerja sama untuk membangun fasilitas penampungan nira di Ciamis, dengan harga beli Rp2.000 per liter. Jika MHA Kampung Kuta dapat menyediakan 150 hektare lahan produktif (pola tanam 5×5 meter), maka industri bioetanol skala lokal bisa segera diwujudkan.
Warga mendukung penuh rencana ini dan menargetkan kemitraan formal dengan PT Pertamina pada tahun 2030. Kampung Adat Kuta membuktikan bahwa tradisi dan inovasi bisa berjalan beriringan demi masa depan energi berkelanjutan.
Melihat potensi, peluang, dan tantangan dalam pengembangan bioetanol berbasis aren, diperlukan arah kebijakan yang terstruktur dan progresif.
Baca juga: Komitmen Dorong Transisi Energi, Pertamina Group Kembangkan Ekosistem Bioetanol
Arah Kebijakan ke Depan
Melihat potensi, peluang, dan tantangan dalam pengembangan bioetanol berbasis aren, diperlukan arah kebijakan yang terstruktur dan progresif. Beberapa langkah strategis yang perlu diprioritaskan antara lain:
Pertama, percepatan pemanfaatan kawasan hutan untuk program ketahanan pangan, energi, dan air, khususnya melalui penanaman aren di areal perhutanan sosial skala besar di 10 provinsi. Upaya ini harus didukung melalui peningkatan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, serta pemangku kepentingan lainnya. Pembangunan industri pengolahan bioetanol di tingkat tapak—dekat dengan sentra perkebunan aren—akan menekan biaya transportasi dan penyimpanan, sekaligus mendorong produktivitas dari total lahan potensial seluas 1,9 juta hektare.
Kedua, penguatan jaringan distribusi bioetanol yang efektif dan efisien. Rantai distribusi yang baik akan memastikan ketersediaan bahan baku di lapangan serta menjamin keterhubungan antara produsen dan pasar, baik domestik maupun ekspor.
Ketiga, pemberian insentif bagi petani aren dan pelaku industri bioetanol. Dukungan ini bertujuan meningkatkan semangat dan daya saing, baik dari sisi volume produksi maupun kualitas produk. Insentif juga penting untuk menarik minat investasi di sektor bioenergi, terutama saat persaingan antara energi fosil dan energi terbarukan semakin ketat.
Dengan kebijakan yang tepat, pengembangan bioetanol dari aren tidak hanya akan mendukung transisi energi Indonesia menuju ekonomi hijau, tetapi juga memperkuat peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan. ***
Oleh: Ihwan, S.Sos, M.Si (Analis Kebijakan Ahli Madya, Kementerian Kehutanan)