Ecobiz.asia — Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengajak sektor publik dan swasta terlibat aktif dalam program rehabilitasi mangrove nasional dengan pendekatan baru yang lebih terbuka dan terukur.
Salah satu strategi yang disiapkan adalah menawarkan “kavling” lokasi rehabilitasi seluas 6,25 hektare kepada investor sebagai bagian dari skema partisipasi dan investasi sosial.
Direktur Rehabilitasi Mangrove Kementerian Kehutanan, Ristianto Pribadi, menjelaskan bahwa pendekatan ini dirancang untuk menjawab tantangan keterbatasan anggaran negara dan membuka peluang kolaborasi multipihak.
“Kami tidak bisa hanya mengandalkan APBN. Sekarang kami menyiapkan strategi keterlibatan publik, termasuk dengan investor dan sektor swasta,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (24/7/2025).
Indonesia memiliki sekitar 3,4 juta hektare kawasan mangrove yang tersebar di seluruh pesisir nusantara. Di luar itu, terdapat sekitar 769 ribu hektare habitat mangrove yang berpotensi direhabilitasi, sebagian besar di antaranya berupa tambak atau lahan bekas tambak.
Selama periode 2020 hingga 2024, program rehabilitasi mangrove mencatatkan capaian seluas 84.721 hektare. Namun, sebagian besar pencapaian tersebut ditopang oleh hibah, pinjaman luar negeri, atau kerja sama jangka pendek yang tidak cukup untuk menopang target jangka panjang.
Untuk mendorong partisipasi investor, Kemenhut menyiapkan skema insentif yang meliputi pemberian apresiasi dan pencantuman nama investor pada lokasi rehabilitasi yang berhasil.
“Bagi pihak swasta, apresiasi ini penting sebagai bagian dari akuntansi hijau perusahaan,” kata Ristianto yang akrab disapa Tito.
Unit terkecil rehabilitasi yang ditawarkan kepada publik akan seluas 6,25 hektare, disesuaikan dengan resolusi piksel peta satelit yang digunakan untuk pemantauan. Dengan pendekatan ini, setiap “kavling” rehabilitasi dapat dipantau dan dievaluasi secara transparan.
Peta zonasi prioritas tengah disusun untuk menunjukkan lokasi-lokasi rehabilitasi yang layak secara teknis dan sosial. Peta tersebut akan menjadi panduan utama dalam menentukan wilayah mana yang siap dijadikan titik kerja sama dengan investor publik.
Lebih lanjut, Ristianto menekankan bahwa rehabilitasi mangrove akan tetap mempertimbangkan keberlanjutan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir. Pemerintah mendorong pendekatan berbasis ekonomi lokal seperti silvofishery, ekowisata, dan pemanfaatan hasil hutan non-kayu sebagai bagian dari solusi keberlanjutan.
“Kami ingin memastikan semua kegiatan ekonomi di kawasan rehabilitasi berjalan dengan prinsip socially acceptable dan ecologically sustainable,” ujarnya. Dengan pendekatan ini, program rehabilitasi mangrove diharapkan tak hanya memulihkan ekosistem, tapi juga menjadi model pembangunan hijau yang inklusif dan kolaboratif. ***