Ecobiz.asia – Kesepakatan perdagangan antara Indonesia-Amerika Serikat yang diumumkan Presiden Donald Trump mengancam produksi ethanol di tanah air.
Kesepakatan tersebut membebaskan bea masuk ethanol asal AS sehingga membuat industri ethanol nasional semakin tertekan dan berujung pada gagalnya rencana pemerintah untuk implementasi pencampuran bahan bakar E5 (5% bioethanol dalam bensin).
Ketua Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (Apsendo) Izmirta Rachman menjelaskan, dengan skema 19-0 ekspor ethanol Indonesia ke AS akan dikenakan tarif 19% dan sebaliknya ethanol AS masuk ke Indonesia tanpa tarif.
Baca juga: Kementerian ESDM Tuntaskan Kajian Teknis Implementasi Biodiesel B50, Ada Tiga Opsi Blending FAME-HVO
“Ini akan menyulitkan industri lokal bersaing,” ujar Ketua Apsendo, Izmirta Rachman di Jakarta, Kamis (17/7/2025).
Kekhawatiran semakin besar dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan No. 16/2025 yang mencabut status larangan dan pembatasan (lartas) impor Ethanol. Artinya, siapapun kini dapat mengimpor etanol tanpa hambatan.
Saat ini ada 13 perusahaan ethanol di Indonesia dimana hanya lima diantaranya yang aktif berproduksi menghasilkan ethanol berkualitas bahan bakar dengan total produksi 60.000 Kiloliter/tahun.
Lima produsen itu adalah PT Energi Agro Nusantara dengan kapasitas produksi 30.000 Kl/tahun, PT Indonesia Ethanol Industri (20.000 Kl/tahun), PT Madu Baru (1.000 Kl/tahun), PT Molindo Raya Industrial (60.000 Kl/tahun) dan PT Indo Acidatama (3.000 Kl/tahun).
Baca juga: Vanda RE Gandeng CATL Pasok Baterai untuk Proyek Energi Surya di Kepulauan Riau
Sejak adanya Peraturan Presiden (Perpres) No 40/2023 tentang penyediaan bioethanol sebagai bahan bakar nabati (BBN), Izmirta mengatakan anggota Apsendo langsung berkontribusi. Pada tahun 2023, produksi bioethanol sebesar 104 Kl, kemudian pada tahun 2024 sebesar 373 Kl, dan pada tahun 2025 hingga Juni mencapai 208 Kl.
Menurut Izmirta, meski secara volume belum besar, namun catatan tersebut adalah benih hilirisasi yang baik untuk mencapai ketahanan energi di tanah air.
Izmirta menekankan bahwa dengan pengelolaan dan kebijakan yang tepat, potensi produksi ethanol nasional sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan pencampuran E5. “Kebutuhan E5 sekitar 350 ribu kiloliter per tahun. Dengan ketersediaan molasses sebagai bahan baku 1,6 juta ton per tahun, kami bisa hasilkan 400 ribu kiloliter etanol. Cukup,” tegasnya.
Baca juga: Dukung Transisi Energi, Tripatra Perkuat Pengembangan Ekosistem Biofuel
Dia mendesak pemerintah segera mengambil langkah korektif, antara lain dengan mengembalikan status lartas untuk impor ethanol, membatasi ekspor molasses, serta menciptakan skema harga dan pasokan bahan baku yang mendukung industri domestik.
“Kami dukung program E5, tapi pemerintah harus hadir untuk melindungi industri hulu dulu. Kalau tidak, ethano nasional akan mati perlahan, dan kita hanya akan jadi negara importir,” pungkas Izmirta. ***