Ecobiz.asia – Perempuan petani Indonesia menyerukan agar transisi menuju perdagangan berkelanjutan dilakukan secara adil, dengan melibatkan petani kecil sebagai aktor utama.
Mereka mengingatkan regulasi baru Uni Eropa, EU Deforestation Regulation (EUDR), berpotensi menyingkirkan jutaan petani dari rantai pasok global jika tidak disertai dukungan nyata.
Demikian mengemuka pada forum internasional yang berlangsung di kantor pusat FAO, Roma Italia, Jumat (19/9/2025).
Forum bertajuk “Sustainability and the Role of Woman Farmer in Agrifood Systems” ini dibuka oleh Duta Besar RI untuk PBB di Roma Junimart Girsang dan dipandu oleh Deputy Director Rural Transformation and Gender Equality Division FAO Lauren Phillips.
Acara diselenggarakan Kedutaan Besar RI bersama World Farmers’ Organization (WFO), bertepatan dengan momentum penetapan 2026 sebagai Tahun Internasional Petani Perempuan oleh Majelis Umum PBB.
Kehadiran petani perempuan di forum FAO menjadi bagian dari upaya mereka menyampaikan suara langsung kepada pengambil kebijakan, pelaku industri, dan lembaga think tank. Sebelum Roma, delegasi petani juga telah mengikuti pertemuan serupa di Brussels dan London, membawa aspirasi yang sama, memastikan transisi menuju perdagangan berkelanjutan tidak merugikan petani kecil.
Direktur Kerja Sama Intrarregional dan Antarregional Amerika dan Eropa, Kementerian Luar Negeri RI, Erma Rheindrayani, menekankan bahwa perempuan petani adalah kelompok yang paling rentan.
“Jika keberlanjutan gagal menjawab keterjangkauan, akses, dan inklusi, maka ia gagal melindungi mereka yang memberi makan dunia,” ujarnya.
Di hadapan forum, Cici Tiansari, petani sawit dari Sarolangun, Jambi, menuturkan bagaimana ia bersama 456 anggota koperasinya berjuang menjaga praktik berkelanjutan.
Dia menyebut sertifikasi tidak hanya sekadar kewajiban pasar, melainkan simbol martabat. “Itu bukti bahwa petani kecil bisa berkomitmen pada sawit berkelanjutan,” tegasnya.
Namun, ia menyoroti beratnya beban administrasi dalam EUDR yang menuntut peta digital, data polygon, dan dokumen panjang.
“Bagi perusahaan besar mungkin mudah, tapi bagi kami itu sangat sulit. Kami bukan bagian dari masalah, justru bagian dari solusi. Tapi kami tidak bisa berjalan sendiri,” katanya. Ia menekankan, biaya kepatuhan seharusnya tidak dibebankan sepenuhnya kepada petani kecil.
Hal serupa disampaikan Kusniati, petani karet dari Kabupaten Tebo, Jambi, yang memimpin kelompok beranggotakan 1.100 petani rakyat. Dari kebun kecil mereka, getah karet diolah menjadi ban mobil, sarung tangan medis, hingga sepatu sekolah yang dipakai masyarakat dunia. “Bayangkan, dari kebun kami lahirlah produk global,” ujarnya.
Namun, ia mengaku khawatir tak lagi mampu masuk pasar Eropa karena terbentur syarat administrasi.
“Kami khawatir tersingkir, bukan karena merusak hutan, tapi karena tidak mampu memenuhi aturan. Tanpa petani kecil, tidak ada karet berkelanjutan. Dan tanpa petani kecil, tidak ada masa depan rantai pasok global yang adil,” tegasnya.
Selain Cici dan Kusniati, Ayu Antariksa, Ketua Koperasi Masagena di Sulawesi Selatan, serta Nenek Eti, Ketua Koperasi Perempuan WANOJA di Jawa Barat, yang turut menyampaikan pengalaman serupa dalam menghadapi tantangan regulasi global.
Pietro Paganini dari Competere, lembaga kajian kebijakan pembangunan berkelanjutan, menilai EUDR dibuat tanpa melibatkan negara produsen dan berpotensi menciptakan eksklusi.
“Risikonya adalah jutaan petani kecil, terutama perempuan, tersingkir dari pasar Eropa. Apakah eksklusi bisa disebut keberlanjutan? Jawabannya jelas tidak,” ujarnya.
Pengamat perdagangan komoditas berkelanjutan Diah Suradiredja menyebut forum ini strategis karena memberi ruang resmi bagi suara petani perempuan di tingkat global. “Melindungi hutan tanpa melindungi petani kecil hanyalah setengah jalan,” katanya. ***