Ecobiz.asia – Lambannya pengakuan masyarakat hukum adat (MHA) di tingkat daerah menjadi hambatan utama percepatan penetapan hutan adat di Indonesia.
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menilai, akar masalah kerap terletak pada belum adanya pengakuan resmi dari pemerintah kabupaten/kota.
“Bottleneck-nya sering di pengakuan MHA. Harus ada perda atau SK bupati dulu sebelum bisa kita tetapkan sebagai hutan adat,” ujar Julmansyah, Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, di Jakarta, Kamis (7/8/2025).
Untuk mengatasi kebuntuan tersebut, Kemenhut membentuk Satuan Tugas Percepatan Penetapan Hutan Adat (Satgas) yang melibatkan NGO dan akademisi guna memperkuat validasi data di lapangan.
“Kami ajak NGO yang sudah lama dampingi masyarakat untuk mempercepat pengakuan. Mereka punya data dan relasi yang kuat di daerah,” ujarnya.
Kolaborasi ini menjadi penting di tengah kompleksitas pengakuan yang kerap terkendala oleh tarik menarik politik lokal dan lemahnya kapasitas administrasi di daerah. Bahkan, beberapa pemerintah daerah memilih datang langsung ke Jakarta untuk audiensi mempercepat proses.
“Basis percepatan itu adalah data yang membuktikan MHA itu fungsional, punya interaksi dengan hutan. Bukan sekadar konstruksi sosial baru,” tegas Julmansyah.
Data dari Kementerian menyebutkan saat ini terdapat potensi penetapan hutan adat seluas 70.688 hektare yang tersebar di lima kabupaten/kota. Lokasi tersebut termasuk wilayah-wilayah dengan nilai ekologis dan sosial tinggi, seperti komunitas Punan Batu di Kalimantan Utara yang populasinya kini tinggal sekitar 35 KK.
Kendala lain yang terus dihadapi adalah tumpang tindih perizinan di kawasan hutan. Untuk itu, kementerian mulai menggunakan Dashboard Sistem Satu Peta (DSS) sebagai solusi koordinasi data lintas direktorat.
“Tidak ada yang sepenuhnya clear and clean. Tapi kita bisa selesaikan internal jika semua direktorat bersinergi,” ujarnya.
Dengan kerja kolaboratif ini, Kemenhut menargetkan perluasan pengakuan Hutan Adat dapat terus meningkat hingga akhir 2025, sekaligus memastikan perlindungan bagi komunitas adat yang masih menggantungkan hidup dari hutan. ***