Ecobiz.asia – Kementerian Kehutanan menegaskan pentingnya pengelolaan lanskap hutan terpadu dan berkelanjutan sebagai strategi menghadapi perubahan iklim sekaligus memperkuat ketahanan pangan, energi, dan air nasional.
“Hutan bukan hanya penyerap karbon, tetapi juga infrastruktur alami yang menopang pangan, energi, air, dan kehidupan jutaan masyarakat,” kata Staf Ahli Menteri Kehutanan bidang Perubahan Iklim, Haruni Krisnawati, dalam International Seminar on Natural Resources and Environmental Management (ISeNREM) 2025 yang digelar daring oleh Sekolah Pascasarjana IPB, 31 Juli–1 Agustus 2025.
ISeNREM 2025 menjadi ajang bagi peneliti, akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan untuk berbagi wawasan, temuan riset, serta inovasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Haruni menjelaskan, tutupan hutan yang mencapai lebih dari 51% wilayah daratan Indonesia menjadikannya pilar penting ketahanan ekologis dan sosial, terutama di tengah risiko krisis iklim, deforestasi, dan degradasi lahan.
Pendekatan lanskap hutan terpadu, menurutnya, memungkinkan tata kelola yang menggabungkan konservasi keanekaragaman hayati, produksi berkelanjutan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dalam satu sistem adaptif dan kolaboratif.
Ia menekankan strategi Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 sebagai kunci transformasi sektor kehutanan.
“FOLU Net Sink 2030 tidak hanya soal pengurangan emisi, tetapi juga perubahan cara kita memperlakukan hutan sebagai aset strategis bangsa. Hutan adalah solusi lintas sektor, dari pangan, air hingga energi,” ujar Haruni yang juga merupakan Ketua Harian Kerja Sekretariat FOLU Net Sink Kementerian Kehutanan.
FOLU Net Sink 2030 juga diarahkan untuk memperkuat peran kehutanan dalam pembangunan berkelanjutan. Program ini mencakup pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, rehabilitasi lahan kritis dan bekas tambang, perlindungan mangrove, restorasi dan pengelolaan tata air gambut, konservasi keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan lestari, serta perhutanan sosial. Upaya tersebut didukung pengembangan tata kelola nilai ekonomi karbon yang membuka peluang investasi berbasis hasil (result-based) dan perdagangan karbon.
Dalam konteks ketahanan pangan, hutan berfungsi menjaga kesuburan tanah, ketersediaan air bagi pertanian, serta mengatur iklim mikro. Sistem agroforestri yang terintegrasi dengan hutan terbukti membantu mata pencaharian petani sekaligus menjaga kelestarian bentang alam.
Sementara itu, sebagai penyangga ketahanan air, hutan berperan sebagai daerah tangkapan air yang melindungi sumber mata air dan mengurangi risiko banjir maupun kekeringan.
Haruni juga menyoroti perhutanan sosial sebagai instrumen inklusif untuk pemerataan akses lahan, pemberdayaan ekonomi, dan konservasi berbasis rakyat. Jutaan hektar lahan kini dikelola masyarakat dengan dukungan legalitas, modal usaha, pelatihan, dan kemitraan pasar yang mendorong ekonomi hijau.
Selain itu, sektor kehutanan juga mendukung transisi energi bersih melalui pemanfaatan biomassa untuk co-firing PLTU, pengembangan pelet kayu dari hutan tanaman industri, serta integrasi bioenergi dalam perhutanan sosial. Namun, ia menegaskan pemanfaatan energi dari hutan harus mengutamakan keberlanjutan tanpa mengorbankan fungsi ekologis jangka panjang.
Menutup paparannya, Haruni mengajak seluruh pihak memperkuat kolaborasi lintas sektor. “Integrasi kebijakan kehutanan, pangan, energi, dan air, pengambilan keputusan berbasis sains, pelibatan masyarakat, serta pembiayaan iklim menjadi elemen penting menuju masa depan yang tangguh,” katanya.
“Mari kita jaga hutan Indonesia untuk kehidupan, karena dari hutanlah masa depan pangan, energi, dan air kita bertumpu,” pungkas Haruni. ***