Ecobiz.asia – Indonesia siap berbagi pengetahuan dan memperkuat kerja sama dengan berbagai negara dan mitra internasional dalam pengelolaan hutan dan rehabilitasi mangrove untuk memperkuat ketahanan ekologi dan mendukung pertumbuhan hijau.
Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan Kementerian Kehutanan, Dyah Murtiningtyas, saat menerima kunjungan delegasi Pemerintah Sri Lanka di Jakarta, Selasa (26/8) menyampaikan bahwa Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam mengelola lebih dari 120 juta hektare kawasan hutan.
Strategi utama yang diterapkan mencakup pengelolaan hutan berbasis masyarakat, penegakan hukum terhadap pembalakan liar, serta program rehabilitasi hutan dan mangrove berskala besar.
“Indonesia adalah negara dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia, sekaligus pemilik ekosistem mangrove terluas, yaitu 3,44 juta hektare atau 23 persen dari total global. Kami menekankan pentingnya berbagi pengalaman dan praktik terbaik untuk menghadapi tantangan bersama, termasuk deforestasi, degradasi lahan, dan perubahan iklim,” ujar Dyah.
Pertemuan tersebut dihadiri jajaran Kementerian Kehutanan serta mitra internasional, termasuk Global Green Growth Institute, perwakilan Kedutaan Kanada, dan Kedutaan Sri Lanka.
Dyah menegaskan, seluruh kebijakan kehutanan Indonesia selaras dengan agenda nasional Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030, yakni target penyerapan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan dan lahan sebesar minus 140 juta ton CO₂e pada 2030. Program kehutanan sosial juga menjadi instrumen penting untuk memberi hak kelola kepada masyarakat, yang terbukti mampu mengurangi kemiskinan sekaligus memperkuat konservasi.
Sementara itu, Direktur Rehabilitasi Mangrove Kementerian Kehutanan, Ristianto Pribadi, memaparkan strategi Indonesia dalam pengelolaan mangrove berkelanjutan.
Ristianto, menjelaskan bahwa ekosistem mangrove berperan vital sebagai penyerap karbon biru (blue carbon), bahkan menyimpan tiga hingga lima kali lebih banyak karbon dibanding hutan tropis daratan.
“Berdasarkan peta nasional 2024, Indonesia memiliki 3,4 juta hektare mangrove yang mampu menyerap hingga 5,33 gigaton CO₂ ekuivalen. Namun ekosistem ini menghadapi ancaman serius, seperti alih fungsi untuk tambak, penebangan ilegal, hingga reklamasi pantai,” jelas Ristianto.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Indonesia telah menanam lebih dari 84 ribu hektare mangrove dalam periode 2021–2024 dengan melibatkan hampir 3 ribu kelompok masyarakat dan memberikan 4,5 juta upah harian pekerja. Program ini tidak hanya mendukung adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, tetapi juga membuka lapangan kerja baru.
Indonesia juga tengah mengembangkan World Mangrove Center (WMC) yang berlokasi di Bali, dengan dukungan mitra internasional seperti KfW Jerman dan JICA. WMC diharapkan menjadi pusat rujukan global untuk data, penelitian, dan kerja sama konservasi mangrove.
Delegasi Sri Lanka dijadwalkan melakukan kunjungan lapangan ke sejumlah lokasi rehabilitasi hutan dan mangrove di Kalimantan Utara. Pertemuan ini diharapkan memperkuat pertukaran pengetahuan dan mendorong kolaborasi kedua negara dalam menjaga ekosistem tropis dan pesisir.
“Pencapaian target FOLU Net Sink 2030 dan keberhasilan rehabilitasi mangrove tidak bisa dicapai hanya oleh pemerintah. Kolaborasi dengan masyarakat, sektor swasta, serta mitra internasional menjadi kunci utama,” tegas Dyah. ***