Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Ecobiz.asia – Menteri Lingkungan Hidup kabinet Merah Putih era Prabowo–Gibran tampaknya menjadikan penanganan sampah sebagai fokus utama. Hal ini wajar mengingat pengelolaan sampah di Indonesia selama ini dinilai masih buruk dan tidak teratur. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, industri, dan masyarakat dalam mengatasi persoalan sampah.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif menyoroti perlunya pengurangan sampah dari sumbernya, serta peningkatan kualitas pengelolaan di tempat pembuangan akhir (TPA). Ia mengingatkan bahwa masih banyak TPA di Indonesia yang beroperasi dengan sistem open dumping (pembuangan terbuka), yang tidak ramah lingkungan dan sudah ketinggalan zaman. Karena itu, pemerintah mendorong penggunaan teknologi seperti Refuse Derived Fuel (RDF) dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) untuk meningkatkan efisiensi dan nilai tambah pengolahan sampah.
Menurut Hanif, penanganan sampah yang baik bukan hanya penting untuk lingkungan, tetapi juga untuk kesehatan masyarakat, ketahanan iklim, dan penguatan ekonomi sirkular. Ia menegaskan, pengelolaan sampah di Indonesia harus dilakukan dari hulu ke hilir, mengingat rantai prosesnya yang panjang dan kompleks.
Masalah dari Hulu: Kesadaran yang Rendah
Sebenarnya, persoalan sampah di Indonesia tidak akan serumit saat ini jika penanganannya dimulai sejak dari hulu. Saat ini, sebagian besar penanganan justru dilakukan di TPA yang masih menggunakan sistem open dumping, metode yang tidak efisien dan berisiko terhadap kesehatan serta lingkungan.
Kunci keberhasilan pengelolaan sampah sesungguhnya terletak pada kesadaran masyarakat. Sayangnya, hingga kini perilaku membuang sampah sembarangan masih mudah ditemui di berbagai tempat. Di pinggir jalan, di sungai, atau di lahan kosong. Selain mencemari lingkungan, kebiasaan ini juga menjadi sumber penyakit bagi masyarakat sekitar.
Upaya pemerintah dan pemerintah daerah sejauh ini masih sebatas imbauan moral agar masyarakat memiliki kesadaran membuang sampah pada tempatnya. Namun tanpa regulasi tegas dan penegakan hukum dengan sanksi yang nyata, perilaku ini sulit berubah.
Belajar dari Negara Maju
Pada penghujung Juni 2025, saya berkesempatan mengunjungi beberapa negara di Eropa Barat yaitu Jerman, Swiss, Belanda, Belgia, Prancis, dan Italia, serta tinggal di kota-kota besar seperti Zurich, Frankfurt, Amsterdam, Brussel, Paris, dan Milan.
Di kota-kota tersebut, penanganan sampah telah dimulai sejak dari hulu, dengan sistem yang sangat tertata. Budaya sadar sampah sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Di area publik seperti pusat perbelanjaan, rest area jalan raya, restoran, kafe, hotel, toilet umum, hingga bus umum, selalu tersedia tempat sampah yang bersih dan terpisah sesuai jenisnya.
Pemandangan yang paling berkesan adalah ketika makan di restoran atau kafe: setelah selesai, para pengunjung mengangkat sendiri baki berisi piring dan gelas bekas untuk diletakkan di tempat khusus. Di sana, tersedia tempat sampah yang sudah dipilah untuk plastik, kaleng, dan sisa makanan. Tidak ada petugas yang perlu menegur, karena kesadaran itu sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat.
Di kota-kota besar seperti Amsterdam, Paris, Brussel, Milan, dan Frankfurt, tempat sampah umum tertutup rapat, tanpa bau atau lalat. Lingkungan kota tampak bersih dan higienis. Dari hal-hal sederhana ini, kita bisa menilai betapa tingginya budaya sadar sampah di negara-negara Eropa Barat.
Melihat kebersihan di ruang publiknya saja, saya yakin bahwa pengelolaan sampah di tingkat hilir seperti di TPA juga dijalankan dengan baik, memanfaatkan teknologi modern seperti RDF dan PLTSa.
Refleksi untuk Indonesia
Kita harus mengakui bahwa Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara-negara Uni Eropa dalam hal pengelolaan sampah, baik di hulu maupun di hilir. Di negara-negara maju itu, sistem open dumping seperti yang masih banyak digunakan di Indonesia sudah tidak ada lagi.
Padahal, sistem pengelolaan sampah dapat menjadi salah satu indikator kemajuan suatu negara. Karena itu, Indonesia perlu segera melakukan perubahan nyata. Jika penerapan teknologi modern di TPA seperti RDF atau PLTSa masih terkendala anggaran, maka setidaknya kita bisa meniru sistem pengelolaan di hulu, yang biayanya jauh lebih murah tetapi berdampak besar.
Langkah pertama adalah membangun budaya sadar sampah di masyarakat, sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan di Eropa Barat. Budaya ini memang tidak lahir dalam semalam; perlu proses panjang, edukasi, dan keteladanan. Namun tanpa langkah awal, kesadaran itu tidak akan pernah tumbuh.
Bila perlu, pemerintah dapat menerapkan sanksi hukum atau denda administratif bagi pelanggar, sebagai efek jera. Banyak negara maju berhasil membangun budaya disiplin lingkungan karena konsisten menegakkan aturan, bukan hanya karena imbauan moral.
Indonesia harus segera berbenah. Penanganan sampah tidak boleh lagi menjadi pekerjaan rutin tahunan tanpa hasil nyata. Jika negara-negara Eropa bisa mencapai tingkat kesadaran tinggi melalui edukasi, ketertiban, dan penegakan hukum, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak bisa meniru hal yang sama. ***