Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Kehutanan)
Ecobiz.asia – Pada penghujung Juni 2025, saya berkesempatan berkunjung ke beberapa negara Eropa Barat: Swiss, Jerman, Belanda, Belgia, Prancis, dan Italia. Salah satu destinasi wisata yang meninggalkan kesan mendalam adalah Jungfraujoch, titik tertinggi di Eropa yang selalu diselimuti salju, berada di ketinggian 3.454 meter di atas permukaan laut.
Dari Zurich, perjalanan menuju Jungfraujoch ditempuh dengan kendaraan darat menuju Lauterbrunnen selama kurang lebih tiga jam. Dari sana, wisatawan melanjutkan perjalanan dengan kereta api bergerigi menuju Kleine Scheidegg. Selanjutnya, kereta masuk ke terowongan panjang yang melewati Eigergletscher, Eismer, hingga akhirnya tiba di stasiun Jungfraujoch dengan waktu tempuh sekitar satu jam.
Di kawasan ini telah dibangun kompleks wisata besar yang disebut “Top of Europe”. Fasilitasnya lengkap: restoran, bar, toko, pameran multimedia, kantor pos, hingga stasiun penelitian dengan laboratorium khusus. Lift membawa wisatawan menuju puncak Sphinx di ketinggian 3.571 meter—platform observasi tertinggi di kawasan ini. Di sekitarnya terdapat sekolah ski, Istana Es berisi patung-patung es, serta jalur menuju Mönchsjoch Hut, satu-satunya akomodasi di area gletser.
Jungfrau sendiri adalah salah satu puncak Pegunungan Alpen Bernese yang terletak di antara Kanton Valais dan Bern. Bersama Eiger dan Mönch, ketiga puncak ini membentuk panorama menakjubkan yang dikenal luas di Bernese Oberland. Kawasan ini, bersama Aletsch Glacier, ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Dunia sejak 2001.
Perjalanan pulang dari Jungfraujoch biasanya dilakukan dengan Eiger Express, gondola modern yang menghubungkan Eigergletscher–Grindelwald hanya dalam 15 menit. Gondola ini berkapasitas 20–25 orang dan melayang setinggi 100–150 meter di atas daratan, memberi pemandangan spektakuler hutan hijau di antara salju abadi.
Ekowisata dan Pengelolaan Hutan Swiss
Yang menarik dari ekowisata Jungfraujoch bukan hanya salju abadi, tetapi juga pengelolaan hutan konservasi yang sangat baik. Dari gondola, tampak hutan hijau jenis Cupressus (pohon jarum) yang lebat dan indah. Tidak terlihat adanya penebangan masif. Jika ada pohon ditebang, jumlahnya sangat sedikit dan kemungkinan karena sudah tua atau lapuk. Tidak ada ladang atau kebun yang merusak harmoni kawasan hutan.
Pengelolaan hutan di kawasan ini juga terbukti dari kondisi sungai di Grindelwald yang sangat jernih, bebas dari sedimen yang biasanya terbawa dari daerah tangkapan air. Semua ini menunjukkan bagaimana pemerintah Swiss menjaga ekosistem pegunungan dengan ketat.
Memang, biaya paket wisata Zurich–Jungfraujoch cukup tinggi: 220 euro (sekitar Rp4,2 juta) per orang. Namun, pengalaman menyaksikan panorama salju, naik lift ke puncak Sphinx, hingga kembali dengan gondola membuat wisatawan merasa puas. Tidak heran jika Jungfraujoch menjadi ikon wisata Swiss yang mendatangkan devisa besar. Wisatawan datang sepanjang tahun, baik musim panas maupun musim dingin ketika suhu turun di bawah nol derajat Celsius.
Sebagai seorang rimbawan yang terbiasa keluar masuk hutan di Indonesia, saya sangat kagum. Swiss mampu melaksanakan konservasi dengan disiplin, tetapi tetap memetik manfaat ekonomi besar melalui ekowisata yang bermutu tinggi.
Pelajaran untuk Indonesia
Indonesia sebenarnya memiliki banyak obyek wisata alam pegunungan yang potensial dikembangkan menjadi ekowisata kelas dunia. Bedanya, kita tidak menjual salju, melainkan pesona gunung, hutan, dan keanekaragaman hayati. Sayangnya, taman nasional (TN) sebagai kawasan hutan konservasi belum digarap optimal sebagai destinasi wisata.
Beberapa TN yang menawarkan panorama pegunungan antara lain: TN Bromo Tengger Semeru, TN Gunung Leuser, TN Rinjani, dan TN Kerinci. Namun, kendala utamanya adalah aksesibilitas yang masih rendah. Hal ini membuat pemerintah belum menetapkan taman nasional pegunungan sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP). Lima DPSP yang ada saat ini—Labuan Bajo, Mandalika, Danau Toba, Borobudur, dan Likupang—tidak ada yang mewakili ekowisata pegunungan. Labuan Bajo memang mengandalkan TN Komodo, tetapi yang dijual adalah satwa komodo dan keindahan laut.
Padahal, setidaknya ada tiga TN di Pulau Jawa yang memiliki aksesibilitas baik yang sangat potensial:
- TN Gunung Gede Pangrango
Salah satu taman nasional tertua di Indonesia (ditetapkan 1980, luas 150 km²). Terdaftar sebagai Cagar Biosfer dunia dengan luas 24.270 hektare. Kawasan ini melindungi beragam ekosistem pegunungan dan flora khas. Objek wisatanya beragam: telaga, air terjun, jalur pendakian, hingga Taman Wisata Alam Mandalawangi dengan fasilitas outbound dan paintball.
- TN Bromo Tengger Semeru
Mencakup ekosistem submontana, montana, hingga subalpin. Vegetasi khasnya antara lain cemara gunung, jamuju, edelweis, berbagai jenis anggrek, serta rumput langka. Satwanya pun beragam: rusa, kijang, macan tutul Jawa, ajag, monyet ekor panjang, hingga puluhan jenis burung, termasuk rangkong, elang bondol, dan belibis di Ranu Pani serta Ranu Kumbolo.
- TN Halimun Salak
Hutan ini terbagi menjadi tiga zona vegetasi: dataran rendah (hingga 1.150 m dpl), submontana (1.050–1.400 m dpl), dan montana (di atas 1.500 m dpl). Lebih dari 500 spesies tumbuhan tercatat hidup di sini, termasuk 266 genera dan 93 famili. Faunanya pun beraneka ragam, dari mamalia hingga berbagai jenis burung endemik.
Ketiga TN tersebut relatif mudah diakses: TN Bromo Tengger Semeru dari Surabaya, sementara TN Gunung Gede Pangrango dan TN Halimun Salak dari Jakarta. Dengan pembenahan infrastruktur dan promosi, potensi ekowisata ketiganya bisa mendatangkan devisa besar. Bahkan, bisa saja ditetapkan sebagai DPSP baru, seperti lima destinasi yang sudah lebih dulu dikembangkan.
Penutup
Ekowisata pegunungan di Swiss membuktikan bahwa konservasi dan ekonomi bisa berjalan beriringan. Kawasan alam tetap dijaga ketat, sementara negara mendapat pemasukan besar dari pariwisata.
Indonesia memiliki potensi serupa. Yang dibutuhkan adalah keseriusan pemerintah membenahi akses, infrastruktur, dan promosi. Jika negara lain seperti Swiss bisa, mengapa kita tidak? Kita harus berani menjadikan ekowisata pegunungan sebagai kekuatan ekonomi hijau nasional, bukan sekadar potensi yang dibiarkan tidur. ***