Libatkan Masyarakat Adat, Selamatkan Satwa Liar

MORE ARTICLES

Oleh: Ihwan, S.Sos., M.Si. (Analis Kebijakan Ahli Madya, Kementerian Kehutanan)

Ecobiz.asia – Penurunan populasi satwa liar global sebesar 73 persen sejak 1970 hingga 2020 menjadi peringatan dini atas krisis ekologi, sebagaimana dirilis WWF dalam Living Planet Report (2024). Indonesia, dengan 25 spesies prioritas dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Kementerian Kehutanan, menghadapi ancaman serupa. Populasi komodo, misalnya, yang sempat meningkat menjadi 3.303 ekor pada 2021, turun menjadi 3.156 ekor pada 2022, dan diperkirakan habitatnya bisa menyusut hingga 87 persen pada 2050.

Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), semua spesies orangutan berstatus kritis. Orangutan Kalimantan kehilangan lebih dari 100 ribu individu sejak 1999, dengan populasi tersisa sekitar 57 ribu, sementara orangutan Tapanuli hanya 577–760 individu. Gajah Sumatera tinggal 1.300–1.500 ekor, gajah Kalimantan 80–100 ekor, keduanya terdesak oleh alih fungsi hutan dan konflik manusia. Harimau Sumatera diperkirakan hanya 400–600 ekor akibat fragmentasi habitat, perburuan, dan konflik. Badak Jawa dan Badak Sumatera kini menjadi dua dari lima spesies badak terakhir di dunia, keduanya di ujung kepunahan.

Salah satu penyebab utama penurunan populasi satwa adalah hilangnya habitat alami akibat aktivitas manusia, baik di taman nasional, suaka margasatwa, maupun kawasan buru. Hutan rawa dan padang rumput terus menyusut karena alih fungsi untuk perkebunan, pertanian, permukiman, tambang, dan infrastruktur. Pembalakan liar serta kebakaran hutan memperparah kondisi. Akibatnya, satwa kehilangan ruang hidup, sumber makan, dan tempat berlindung sehingga populasinya menurun drastis.

Jika dibiarkan, spesies akan hilang dan keseimbangan ekosistem terganggu. Karena itu, tata kelola kawasan di luar konservasi menjadi penting, misalnya dengan menetapkan areal preservasi satwa liar sebagai ruang aman untuk berkembang biak dan menjaga rantai ekologi. Tanpa kebijakan perlindungan habitat, penyelamatan satwa dari kepunahan sulit tercapai.

Read also:  Ketika Tiongkok Berbelok ke Hijau, Arah 2026 dan Cara Indonesia Menyikapinya dengan Kepala Tegak

Hingga kini belum ada regulasi khusus yang mengatur areal preservasi satwa liar. Padahal, UU No. 32/2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati menegaskan Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan (PSPK) mencakup Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Konservasi Perairan, Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, dan Areal Preservasi.

Mandat undang-undang ini jelas, tetapi berbeda dengan kawasan konservasi formal yang sudah memiliki dasar regulasi, areal preservasi masih tanpa peraturan pemerintah. Tanpa payung hukum teknis, pemerintah daerah tidak memiliki pedoman, masyarakat tidak memperoleh legitimasi, dan sektor swasta tidak memiliki dasar insentif untuk terlibat. Karena itu, Kementerian Kehutanan perlu segera menyusun peraturan pemerintah yang mengatur tata kelola areal preservasi, pembagian kewenangan, dan pelibatan multipihak sejak tahap perencanaan.

Kita perlu mengapresiasi langkah Kementerian Kehutanan yang tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang PSPK (RPP PSPK) dengan melibatkan berbagai pihak. Namun, rancangan aturan ini harus benar-benar menjamin pelibatan masyarakat adat dalam tata kelola areal preservasi sebagai garda depan penyelamatan satwa liar.

Dukungan Kebijakan

Areal preservasi merupakan kawasan khusus untuk melindungi habitat satwa liar di luar konservasi formal. Kekosongan regulasi membuat upaya perlindungan habitat berjalan parsial dan tanpa dasar hukum. Karena itu, kebijakan khusus dalam bentuk peraturan pemerintah menjadi mendesak agar tata kelola areal preservasi memiliki kepastian hukum.

Pengelolaan areal preservasi menuntut kolaborasi multipihak—pemerintah daerah, masyarakat adat, hingga sektor swasta—yang diatur tegas agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Peran masyarakat adat krusial karena mereka hidup di tingkat tapak, berinteraksi langsung dengan satwa liar, dan memiliki kearifan lokal yang terbukti menjaga keseimbangan alam.

Read also:  Reevaluasi Perhutanan Sosial: Saatnya Fokus pada Kualitas dan Kemandirian KUPS

Pengelolaan areal preservasi menuntut kolaborasi multipihak—pemerintah daerah, masyarakat adat, hingga sektor swasta—yang diatur tegas agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.

Hutan adat sendiri telah diatur dalam PP No. 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, diperkuat Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan hutan adat bukan bagian dari hutan negara. Penetapan hutan adat bertujuan menjamin ruang hidup Masyarakat Hukum Adat (MHA), melestarikan ekosistem, melindungi kearifan lokal, dan menyelesaikan konflik tenurial.

Data menunjukkan potensi pengakuan hutan adat sangat besar. Kementerian Kehutanan mencatat indikatif 825 ribu hektare, HuMa menghitung 118 komunitas adat dengan wilayah 1,9 juta hektare, sedangkan BRWA meregistrasi 1.499 wilayah adat seluas 30,1 juta hektare di 32 provinsi dan 166 kabupaten/kota. Dari jumlah itu, 23,2 juta hektare berpotensi menjadi hutan adat. Namun, banyak komunitas masih terkendala payung hukum, lambatnya pengesahan Perda, dan benturan dengan kepentingan investasi. Akibatnya, meski berperan vital, kontribusi masyarakat adat kerap tidak diakui.

Padahal, mereka adalah penjaga hutan, sungai, dan tanah leluhur yang sejak lama menjadi habitat satwa liar. Praktik adat seperti larangan berburu musim tertentu atau aturan dalam membuka ladang adalah bentuk konservasi yang diwariskan turun-temurun. Tanpa mereka, kerusakan lingkungan bisa jauh lebih parah.

Arah Kebijakan ke Depan

Melihat luasnya wilayah adat, besarnya populasi masyarakat adat, dan sentralnya peran mereka dalam menjaga habitat satwa, maka RPP PSPK harus secara eksplisit mengatur keterlibatan masyarakat adat dalam tata kelola areal preservasi. Beberapa hal penting adalah:

Read also:  Membaca Arah Baru Kebijakan Hijau Tiongkok: Peluang, Risiko, dan Masa Depan Sawit Indonesia

Pertama, pengakuan dan perlindungan wilayah adat. Peraturan harus memastikan adanya mekanisme pengakuan resmi terhadap wilayah adat didalam maupun sekitar areal preservasi. Tanpa pengakuan ini, peran masyarakat adat akan terus lemah karena status mereka sering dianggap ilegal.

Kedua, kewajiban pelibatan dalam pengambilan keputusan. RPP ini harus memberi ruang formal bagi masyarakat adat untuk duduk dalam forum tata kelola, mulai dari perencanaan zonasi, penyusunan aturan pemanfaatan, hingga evaluasi kebijakan.

Ketiga, hak akses dan pemanfaatan berkelanjutan. Masyarakat adat perlu dijamin haknya untuk  mengakses hasil hutan bukan kayu, tanaman obat, atau sumber daya tertentu yang dibutuhkan untuk kehidupan dan ritual budaya, dengan prinsip tidak merusak habitat satwa liar;

Keempat, peran aktif dalam pengawasan dan perlindungan. Kebijakan harus menetapkan skema patroli dan pemantauan berbasis masyatakat adat (community-base monitoring), sehingga mereka berperan langsung sebagai penjaga lapangan terhadap perambahan, kebakaran, dan perburuan ilegal. Kemudian mengembangkan sistem pengawasan bersama antara masyarakat adat, pemerintah, pihak lain (seperti LSM), untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan areal preservasi.

Dan Kelima, dukungan kapasitas dan insentif. Pemerintah perlu menyiapkan program pendampingan, pelatihan, serta insentif ekonomi (misal skema pembayaran jasa lingkungan atau kemitraan konservasi) agar masyarakat adat memiliki sumber penghidupan yang selaras dengan konservasi.

Dengan pengaturan yang jelas, tata kelola areal preservasi akan lebih adil, efektif, dan berkelanjutan. Masyarakat adat bukan hanya subjek yang dilibatkan, melainkan garda terdepan yang menjaga kelestarian satwa liar sekaligus keberlangsungan ekosistem bagi generasi mendatang. ***

LATEST STORIES

MORE ARTICLES

Reevaluasi Perhutanan Sosial: Saatnya Fokus pada Kualitas dan Kemandirian KUPS

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah Bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Penulis Buku Seputar Hutan dan Kehutanan (2021) dan Membangun Hutan Menjaga Lingkungan (2023)) Ecobiz.asia...

Ketika Tiongkok Berbelok ke Hijau, Arah 2026 dan Cara Indonesia Menyikapinya dengan Kepala Tegak

Oleh : Diah Suradiredja (Pemerhati perdagangan komoditas berkelanjutan) Ecobiz.asia - Dalam satu dekade terakhir, kebijakan hijau Tiongkok bertransformasi dari agenda lingkungan menjadi strategi negara. Ia...

Di Balik Pencabutan 22 PBPH: Fakta, Konteks, dan Realitas

Oleh: Pramono DS (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Ecobiz.asia - Di tengah bencana di Pulau Sumatera yang ditandai oleh banjir bandang disertai...

Bencana dan Distorsi Informasi, Pentingnya Komunikasi Publik Pejabat Pemerintah

Oleh: Ihwan, S.Sos., M.Si. (Analis Kebijakan Ahli Madya, Kementerian Kehutanan) Ecobiz.asia - Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat...

Bencana Sumatera dan Pentingnya Mengelola DAS sebagai Rumah Kita Bersama

Oleh: Dr. Ir. Eka W. Soegiri (Anggota Forum DAS Nasional) Ecobiz.asia - Sejak akhir November 2025, tiga provinsi di ujung barat Indonesia — Aceh, Sumatera...

TOP STORIES

Gandeng Kelompok Tani, Pertamina Hulu Mahakam Rehabilitasi 345 Hektare DAS

Ecobiz.asia – PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) bersama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Wilayah Kalimantan Sulawesi merehabilitasi Daerah Aliran...

Indonesia Opens Access to Performance-Based REDD+ Carbon Financing Through ART-TREES

Ecobiz.asia — Indonesia’s Ministry of Forestry (Kemenhut) has opened opportunities for subnational governments to access performance-based REDD+ carbon financing through the ART-TREES mechanism, as...

Berkas Lengkap, Gakkum Kehutanan Segera Bawa 4 Tersangka Perambahan Tahura Jadi Sawit di Jambi ke Persidangan

Ecobiz.asia — Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan Wilayah Sumatera menuntaskan penanganan kasus perambahan kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Orang Kayo Hitam (OKH) di Kabupaten...

Bakal Rugikan Petani, POPSI Tolak Wacana Kenaikan Pungutan Ekspor Sawit untuk Program B50

Ecobiz.asia — Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) menolak wacana kenaikan pungutan ekspor (PE) kelapa sawit pada 2026 yang dikaitkan dengan rencana peningkatan mandatori...

PetroChina Sukses Rehabilitasi 34 Hektare DAS di Jambi, Tingkat Keberhasilan Vegetasi Capai 95 Persen

Ecobiz.asia — SKK Migas–PetroChina International Jabung Ltd. menyelesaikan rehabilitasi lahan seluas 34 hektare di Kawasan Hutan Lindung Gambut (HLG) Londerang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur,...