Ecobiz.asia — Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menegaskan komitmen Indonesia dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem hutan gambut dan mangrove sebagai solusi berbasis alam untuk pengendalian perubahan iklim dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Penegasan ini disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Kehutanan bidang Perubahan Iklim, Haruni Krisnawati, dalam forum internasional International Summer Course: Coastal Resilience and Carbon Sequestration yang digelar di Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (24/7/2025).
Dalam paparannya, Haruni menjelaskan bahwa hutan gambut dan mangrove merupakan “kekuatan super iklim” karena kemampuannya menyimpan karbon dalam jumlah besar, menjaga keseimbangan hidrologi, serta mendukung keanekaragaman hayati dan penghidupan masyarakat lokal.
“Konservasi dan restorasi gambut serta mangrove bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga strategi pembangunan yang menyentuh ketahanan pangan, kesehatan, air bersih, pekerjaan hijau, hingga pengurangan risiko bencana,” kata Haruni.
Haruni memaparkan, ekosistem gambut Indonesia mencakup sekitar 13,4 juta hektare dan menjadi penyimpan karbon tanah terbesar di dunia, setara dua kali lipat dari seluruh hutan dunia per satuan luas.
Sementara itu, Indonesia juga memiliki sekitar 3,3 juta hektare mangrove, atau 23% dari total mangrove dunia, yang menyimpan cadangan karbon biru besar sekaligus melindungi kawasan pesisir dari badai dan abrasi.
Haruni juga menyoroti kontribusi konkret kedua ekosistem tersebut terhadap lebih dari sepuluh tujuan SDGs, mulai dari pengentasan kemiskinan (SDG 1), ketahanan pangan (SDG 2), kesehatan (SDG 3), pendidikan (SDG 4), kesetaraan gender (SDG 5), hingga aksi iklim (SDG 13) dan perlindungan kehidupan laut dan darat (SDG 14 dan 15).
“Melalui program perhutanan sosial, restorasi ekosistem, dan pengelolaan berbasis masyarakat, kita bisa mendorong partisipasi perempuan, menciptakan pekerjaan hijau, dan mengurangi kesenjangan sosial,” ujarnya.
Lebih lanjut, Haruni menekankan pentingnya strategi nasional FOLU Net Sink 2030 yang menargetkan sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya menjadi penyerap emisi karbon bersih pada 2030. Strategi ini mencakup rehabilitasi mangrove, restorasi gambut, pengurangan deforestasi, serta membangun tata kelola nilai ekonomi karbon yang inovatif, terstandar dan operasional untuk sektor kehutanan.
“FOLU Net Sink adalah kontribusi nyata Indonesia dalam menghadapi krisis iklim global. Hutan gambut dan mangrove menjadi pilar penting dalam strategi ini,” ucapnya.
Forum ini diikuti oleh mahasiswa, peneliti, dosen, praktisi, dan perwakilan pemerintah maupun swasta dari dalam dan luar negeri. Melalui ajang ini, Indonesia menegaskan perannya sebagai mitra strategis dalam mendorong solusi iklim berbasis ekosistem, memperkuat kolaborasi multipihak, serta berbagi pengetahuan dalam pengelolaan ekosistem berkelanjutan.
“Kita harus melihat gambut dan mangrove sebagai fondasi ketahanan, kesejahteraan, dan masa depan yang berkelanjutan,” tutup Haruni. ***