Ecobiz.asia – Raksasa teknologi Amazon dan Microsoft menyatakan minatnya utnuk membeli kredit karbon hutan Indonesia. Hal ini menjadi sinyal kuat potensi besar sektor kehutanan dalam pasar karbon global.
Pemerintah pun mempercepat revisi regulasi untuk menarik lebih banyak pembeli internasional dan memastikan perdagangan karbon berjalan transparan.
Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan Kementerian Kehutanan menyatakan pemerintah tengah melakukan persiapan untuk menyambut permintaan kredit karbon global, khususnya dari pembeli besar seperti Amazon dan Microsoft, yang telah menunjukkan minatnya.
“FOLU kredit ini dari Indonesia masih dipercaya oleh pihak internasional. Jadi kemarin banyak yang datang ke kami saya itu salah satu the biggest buyer ya pembeli carbon registry internasional bersama dengan Microsoft, Amazon, dan Shell,” ungkap Iham pada dalam workshop Advancing Carbon Markets in FOLU Sector di Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Meski memiliki hutan seluas 120 juta hektare yang menjadi penyerap karbon utama, Indonesia baru mencatat transaksi kurang dari 1 persen dari potensi kredit karbon yang ada.
Berdasarkan data Kemenhut, saat ini ada 582 unit Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Sebanyak 66 unit merupakan PBPH pemanfaatan jasa lingkungan dimana 29 diantaranya memiliki kegiatan untuk penyerapan dan penyimpanan karbon dengan luas konsesi 1,02 juta hektare.
Untuk diketahui, saat ini perdagangan kredit karbon hutan Indonesia ke pasar global dalam posisi stagnan setelah terbit Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.S798/2021 pada 11 Mei 2021 yang melarang penjualan kredit karbon ke internasional.
Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon juga belum bisa mendorong perdagangan karbon hutan karena belum adanya keselarasan mekanisme dengan pasar internasional.
Ilham mengatakan, untuk mengatasi masalah ini pemerintah tengah merevisi Perpres No. 98/2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. 7/2023. Salah satu langkah kunci adalah membangun Sistem Registri Unit Karbon (SRUK) yang terintegrasi dengan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI).
“SRUK akan mempermudah pendaftaran unit karbon kehutanan dan memastikan keselarasan dengan standar internasional seperti Verra dan Gold Standard,” jelas Ilham.
Selain reformasi regulasi, pemerintah juga menekankan pengelolaan hutan berkelanjutan di hutan lindung dan hutan produksi agar kredit karbon yang dihasilkan memiliki kualitas tinggi dan dapat diverifikasi.
“Dengan revisi regulasi dan dukungan investor global, Indonesia berpeluang menjadi pemain utama di pasar karbon dunia,” ujar Ilham.
Ia optimistis minat pembeli besar seperti Amazon dan Microsoft akan mendorong kepercayaan dan mempercepat transaksi kredit karbon dari sektor kehutanan. ***