Ecobiz.asia – Pasar karbon Indonesia mulai menyedot minat investor global. Kredit karbon yang diperdagangkan di Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon Exchange) hampir habis terjual, sebagian besar berasal dari proyek geothermal Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE).
“Sebagian besar kredit yang diposting di platform sudah terjual, dengan harga 4–5 dolar per ton,” kata Ketua Indonesia Carbon Trade Association, Riza Suarga, dalam webinar Carbon Pricing Options and Implications for Asia yang digelar Asian Development Bank (ADB), pekan kemarin. Harga itu jauh melampaui pasar sukarela global yang rata-rata hanya 1 dolar AS per ton.
Riza mengatakan tingginya permintaan menjadi bukti bahwa Indonesia menjadi salah satu negara berkembang paling agresif membangun pasar karbon domestik. Regulasi harga karbon mencakup lima sektor utama yaitu kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU), pertanian, limbah, industri, dan energi, dengan skema gabungan cap, trade, dan tax.
Arus modal asing juga dipicu langkah pemerintah membuka akses pasar karbon domestik ke standar internasional. Indonesia telah menandatangani Mutual Recognition Arrangement (MRA) antara Sistem Registri Nasional (SRN) dan lembaga standar global seperti Gold Standard, serta menjajaki kerja sama dengan Verra.
“Banyak investasi luar negeri mulai masuk,” ujar Riza. Ia menyebut pengakuan internasional membuka peluang pengembang lokal menjual kredit karbon ke pasar global dengan harga lebih baik.
Pemerintah bersama Sovereign Wealth Fund Indonesia (Danantara) juga menyiapkan Climate Change Trust Fund untuk memperkuat pembiayaan iklim nasional.
Riza menilai dukungan politik dari Presiden Prabowo Subianto dan fondasi kelembagaan yang semakin solid membuat Indonesia berpeluang menjadi pusat perdagangan karbon strategis di ASEAN. ***