Ecobiz.asia — Pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) memerlukan proses panjang dan kompleks, mulai dari studi awal hingga beroperasi penuh.
PT Geo Dipa Energi, BUMN panas bumi yang ditunjuk sebagai Special Mission Vehicle oleh Kementerian Keuangan, mengungkapkan bahwa tahapan pengembangan PLTP dari studi awal hingga kelayakan bisa memakan waktu hingga tujuh tahun, bahkan lebih jika terkendala perizinan kawasan hutan dan akses lokasi.
“Total ada lima tahap utama: studi pendahuluan, eksplorasi, studi kelayakan, eksploitasi, dan utilisasi,” ujar Muhammad Istiawan Nurpratama, VP Exploration and Production Geo Dipa Energi, dalam webinar yang digelar Indonesia Center for Renewable Energy Studies (ICRES), Jumat (18/7/2025).
Ia menjelaskan, pengembangan panas bumi tidak hanya menuntut keahlian teknis, tetapi juga koordinasi lintas sektor dan instansi.
Saat ini, Geo Dipa mengelola enam wilayah kerja panas bumi (WKP) dengan total potensi sekitar 1,2 GW. Dua lapangan telah beroperasi di Dieng dan Patuha dengan total kapasitas terpasang 120 MW. Target jangka panjang perusahaan adalah menambah kapasitas hingga 485 MW pada 2035 dari tujuh proyek yang kini dalam tahap eksplorasi dan empat lainnya dalam tahap awal.
Menurut Istiawan, eksplorasi menjadi tahap paling menantang karena masih terdapat ketidakpastian kondisi bawah permukaan, mulai dari tekanan, temperatur, hingga karakteristik reservoir.
“Biaya eksplorasi bisa mencapai USD 5–8 juta per sumur. Belum lagi risiko pembiayaan yang tinggi karena jarang ada lender yang bersedia membiayai proyek di tahap ini,” ungkapnya.
Geo Dipa mengandalkan dukungan pembiayaan dari pemerintah melalui skema Government Drilling dan Project Support Facility (PSF) yang dikelola PT SMI. Namun, kendala terbesar justru sering datang dari aspek legal dan regulasi, khususnya perizinan kawasan hutan.
Ia mencontohkan kasus eksplorasi di WKP Arjuna-Welirang yang bersinggungan dengan blok konservasi Tahura.
“Kami butuh tujuh tahun hanya untuk mengubah status blok hutan konservasi menjadi blok pemanfaatan. Oleh karena itu, koordinasi sejak awal dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan instansi teknis lain sangat penting,” tegasnya.
Tahap eksploitasi biasanya berlangsung 3–4 tahun, sementara utilisasi atau operasi pembangkit dapat berjalan selama 30 tahun sesuai kontrak jual beli listrik (PPA) dengan PLN. Selama operasi, monitoring ketat dilakukan baik terhadap performa sumur, lingkungan, maupun aspek sosial.
Geo Dipa juga mulai mengembangkan diversifikasi bisnis dengan menyasar potensi mineral kritis seperti litium dan silika, serta merintis pengembangan hidrogen dari panas bumi.
“Eksplorasi tidak bisa berjalan sendiri. Diperlukan sinergi antara ahli geologi, geofisika, sosial, lingkungan, teknis, hingga hukum. Alignment dan komunikasi adalah kunci keberhasilan,” pungkas Istiawan. ***