Ecobiz.asia – PT Mayangkara Tanaman Industri (MTI), salah satu pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di bawah grup Sumitomo Forestry, mengelola hutan tanaman di lahan gambut secara berkelanjutan dengan memanfaatkan teknologi AI (Artificial Intelligence/kecerdasan buatan).
Pemanfaatan AI membuat pengelolaan tata air gambut untuk tujuan produktivitas tanaman, konservasi keanekaragaman hayati, dan pencegahan kebakaran lahan semakin efektif.
Presiden Direktur PT MTI Daigoro Munakata menjelaskan bagaimana pihaknya mengelola konsesi PBPH PT MTI saat mendampingi rombongan Kementerian Kehutanan melakukan peninjauan lokasi di Sanggau, Kalimantan Barat, Kamis (4/6/2025). “Keseimbangan lingkungan, sosial, dan ekonomi, itu yang paling penting,” tegas Munakata.
Ia menjelaskan, aspek lingkungan perlu dijaga karena merupakan penyangga kehidupan dan menjadi rumah bagi berbagai keanekaragaman hayati flora dan fauna. Sebagai PBPH hutan tanaman, PT MTI memproduksi kayu untuk mendukung aspek ekonomi. Hal ini penting agar tersedia pendanaan untuk membiayai aktivitas perlindungan lingkungan.
Aspek ekonomi, kata Munakata, juga penting untuk mendukung aspek sosial guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup berdampingan dengan konsesi PT MTI. “Kalau tidak ada ekonomi, tidak bisa protect lingkungan, tidak bisa protect sosial juga. Jadi sama-sama penting,” kata dia.
Pentingnya perlindungan lingkungan terlihat dari alokasi pemanfaatan konsesi PT MTI. Dari konsesi seluas sekitar 70.000 hektare, hanya sekitar 10.500 hektare yang dialokasikan untuk dikembangkan sebagai areal produksi hutan tanaman. Sisanya dimanfaatkan untuk hydro buffer gambut, area perlindungan, dan area konservasi keanekaragaman hayati.
Areal non-produksi tersebut membentuk koridor hijau dalam satu lanskap bersama dengan area perlindungan yang ada di dua anak usaha Sumitomo Forestry lainnya, yaitu PT Wana Subur Lestari (WSL) dan PT Kubu Mulia Forestry (KMF). Semuanya menjadi benteng alami yang tangguh untuk menjaga keberadaan Hutan Lindung Mendawak di Kesatuan Hidrologis Gambut Kapuas-Jenuh.
Baca juga: Sumitomo Forestry Garap Konsesi Restorasi Gambut di Kalimantan Tengah, Incar Pasar Karbon
Areal perlindungan dan konservasi tersebut menjadi rumah yang nyaman bagi berbagai flora dan fauna, termasuk salah satu flagship species (spesies kunci konservasi) Indonesia, yaitu orangutan. Tak kurang dari 80–100 individu orangutan menjelajahi kawasan hutan yang dikelola oleh tiga PBPH di bawah pengelolaan Sumitomo Forestry itu. Selain orangutan, ada juga owa, monyet ekor panjang dan bekantan, burung rangkong, burung hantu ketupa, buaya, dan berbagai satwa liar lainnya.
Lokasi yang dipilih sebagai area perlindungan dan konservasi ditentukan setelah dilakukan survei dan pengecekan kondisi hutan sebelum PT MTI mulai beroperasi. “Sebelum mulai kerja, kami cek dulu. Ada yang namanya High Conservation Value (HCV),” kata Munakata.
Survei dan pengecekan itu juga menjadi dasar bagi PT MTI dalam mengelola lahan gambut sebagai areal produksi hutan tanaman.
Survei topografi dilakukan secara manual untuk mengetahui karakteristik lahan gambut yang ada. Panjang transek survei yang dilakukan sudah mencapai 1.800 kilometer. Selain itu juga dilakukan survei kedalaman gambut.
Survei ini penting untuk menentukan area mana yang bisa dimanfaatkan untuk penanaman hutan tanaman dan mana yang harus dialokasikan untuk area hydro buffer dan perlindungan. Survei ini juga penting dalam pembuatan infrastruktur dan saluran pengaturan tata air. Melalui tata air yang tepat, kelembapan gambut bisa dijaga pada level yang bisa mendukung pertumbuhan tanaman sekaligus mencegahnya terbakar. “Kita jaga level air yang sama saat musim hujan maupun kemarau,” kata Munakata.
Berkat tata air yang dilakukan, areal PT MTI hingga saat ini bebas dari kebakaran hutan dan lahan. Bahkan pada tahun 2015 dan tahun 2019 saat El Niño terjadi dan kebakaran hutan dan lahan muncul di banyak tempat, lahan PT MTI tidak terbakar.
Baca juga: DSNG dan Sumitomo Forestry Uji Coba Operasi Pabrik Wood Pellet, Kapasitasnya Besar
Teknologi AI
Dalam praktiknya, PT MTI memanfaatkan beragam teknologi, mulai dari teknologi tepat guna hingga teknologi canggih berbasis AI. Pemanfaatan teknologi tepat guna misalnya pada pintu air otomatis untuk mempertahankan level air. Pintu ini bekerja dengan memanfaatkan drum bekas sebagai pelampung yang akan bergerak naik turun untuk membuka-tutup pintu sesuai kondisi air.
Untuk pemantauan, PT MTI juga mengoptimalkan teknologi berbasis satelit, sPOTEKA yang dikembangkan oleh Sumitomo Forestry bekerja sama dengan IHI Corporation. Memanfaatkan teknologi terbaru yang sedang dikembangkan, PT MTI bisa memantau secara real-time data yang dibutuhkan untuk pengelolaan gambut seperti suhu, curah hujan, tinggi muka air, kelembapan gambut, bahkan hingga subsidensi gambut.
Yang menarik, saat ini sPOTEKA mulai memanfaatkan teknologi AI untuk menghasilkan analisis yang lebih akurat dan komprehensif mencakup seluruh areal pengelolaan hutan tanaman.
General Manager Water Management PT MTI, Asep Andi Yusup, menjelaskan bahwa AI akan mengolah data primer yang dihasilkan dari stasiun pemantau yang terpasang di lapangan. Data yang dihasilkan ditempatkan di cloud sehingga dapat diakses dari berbagai lokasi.
“Memanfaatkan AI, kami akan memperoleh data tidak hanya pada lokasi stasiun pemantau tapi juga pada kawasan spasial yang lebih luas, membantu kami dalam pengelolaan lahan gambut,” kata Asep.
Baca juga: Dua Spesies Baru Begonia Ditemukan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya
Percontohan
Pengelolaan lahan gambut oleh PT MTI mendapat apresiasi dari peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Profesor Chairil Anwar Siregar. Menurut dia, pengelolaan yang diterapkan PT MTI telah sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah dan berkelanjutan.
“Manajemen gambut yang dijalankan PT MTI ini sudah sesuai dengan harapan karena semua aktivitasnya berbasis ilmiah,” ujarnya.
Prof. Chairil tahu persis karena dirinya ikut terlibat dalam berbagai penelitian di lokasi PT MTI. Menurut dia, lebih dari 20 judul penelitian mengenai pengelolaan gambut telah dilakukan di kawasan konsesi PT MTI dalam kurun waktu lebih dari satu dekade. Hasil-hasil penelitian itu kemudian dijadikan dasar dalam penerapan sistem pengelolaan yang berkelanjutan.
Ia mencontohkan bahwa manajemen gambut yang benar mencakup pembuatan peta kontur secara detail dan pembagian zona hidrologis berdasarkan ketinggian lahan. Perbedaan elevasi antar zona ini dijaga sekitar 50 cm untuk memudahkan pembangunan sistem pengelolaan air.
“Ketika zona hidrologis sudah terbangun, maka pembangunan sistem pengelolaan air juga menjadi lebih mudah. Alat-alat ukur tinggi muka air dapat dikelola dengan baik karena semuanya berbasis pada hasil penelitian,” jelasnya.
Selain itu, Prof. Chairil juga menekankan pentingnya pemantauan tinggi muka air sesuai regulasi pemerintah, yakni tidak boleh lebih rendah dari 0,4 meter. Untuk itu, pendekatan ilmiah menjadi kunci agar kebijakan tersebut dapat diterapkan secara tepat di lapangan.
“Tidak bisa tidak, semua itu harus diteliti dulu agar tahu bagaimana cara mencapainya,” tegasnya.
Sementara itu, Sekretaris Ditjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Kehutanan, Saparis Soedarjanto, menilai PT MTI berhasil menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan tanaman yang berkelanjutan, terutama dalam menjaga kelembaban gambut dan mengurangi risiko kebakaran.
“MTI konsisten menerapkan prinsip sustainable forest management. Mereka menjaga stabilitas lanskap agar kegiatan bisnis bisa berkelanjutan,” ujar Saparis.
Salah satu fokus utama pengelolaan lahan di MTI adalah menjaga tingkat kebasahan gambut, mengingat sifat gambut yang sangat mudah terbakar jika kering, terutama di wilayah tropis dekat garis khatulistiwa yang rentan mengalami kekeringan ekstrem.
Menurut Saparis, MTI menggunakan sistem kanal dan drainase yang dirancang dengan interval kontur 0,5 meter untuk mengatur ketinggian muka air gambut. Sistem ini terbukti efektif menjaga kelembapan lahan meskipun terdapat perbedaan ketinggian muka air hingga 6 meter di area tersebut.
“Metode ini adaptif terhadap kondisi lapangan dan terbukti efektif. Buktinya, saat terjadi kebakaran hutan dan lahan besar-besaran pada 2019, kawasan MTI tetap aman,” jelasnya.
Saparis juga menyoroti keberhasilan MTI dalam menjaga keberlanjutan ekosistem melalui pembentukan conservation corridor yang menghubungkan area konservasi dengan hutan lindung. Koridor-koridor ini memungkinkan satwa liar tetap dapat bergerak tanpa mengalami fragmentasi habitat.
Dari aspek sosial, MTI juga dianggap berhasil melibatkan masyarakat sekitar dalam pengelolaan hutan tanaman, yang berdampak pada peningkatan lapangan kerja dan pengurangan kesenjangan sosial ekonomi.
“Pelibatan masyarakat mendorong kohesi sosial yang baik. Ini contoh nyata manfaat pengelolaan hutan yang menggabungkan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi,” tegas Saparis.
Ia menambahkan, pengelolaan hutan tanaman di lahan gambut seperti yang dilakukan MTI memerlukan teknologi dan kecerdasan tinggi, serta dapat menjadi model pembelajaran bagi pengelolaan hutan tanaman di wilayah lain di Indonesia. ***