Ecobiz.asia – Perusahaan listrik milik negara, PT PLN (Persero), berencana menerapkan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) di empat pembangkit listriknya sebagai bagian dari upaya mendukung dekarbonisasi dan mencapai Net Zero Emissions pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Chairani Rachmatullah, Direktur Utama PLN Enjiniring, anak perusahaan PLN, menyatakan bahwa perusahaan telah melakukan studi kelayakan di beberapa lokasi, termasuk PLTU Suralaya (Unit 1-7) di Banten, PLTU Indramayu (Unit 1-3) di Jawa Barat, PLTU Tanjung Jati B di Jepara, dan PLTGU Tambak Lorok (Blok 1-2) di Semarang.
“Pada tahun 2030, kami menargetkan untuk mulai menerapkan CCS di keempat lokasi ini,” ujar Chairani kepada Media saat Journalism Workshop on “Understanding Carbon Capture and Storage (CCS)”, Sabtu (18/1/2025).
Baca juga: PLN Gunakan Teknologi CCS/CCUS Untuk Tekan Emisi Karbon PLTU, Begini Kesiapannya
Dalam jangka panjang, PLN berencana memasang teknologi CCS/CCUS di pembangkit listrik berbahan bakar fosil dengan target total kapasitas 2 GW pada tahun 2040 dan 19 GW pada tahun 2060.
“Kami berharap pada tahun 2040, 2 GW pembangkit termal kami sudah dilengkapi dengan teknologi CCS/CCUS. Berdasarkan perhitungan kami, pada tahun 2060, 19 GW pembangkit akan dilengkapi CCS/CCUS,” jelas Chairani.
Namun, penerapan CCS masih menghadapi tantangan finansial yang signifikan, dengan estimasi biaya 40 dolar AS per ton karbon dioksida (CO2).
Hal ini setara dengan biaya produksi listrik sebesar 12 sen per kilowatt-jam (kWh), melebihi batas maksimum biaya produksi PLN sebesar 8 sen per kWh.
Oleh karena itu, perusahaan bekerja untuk memastikan kelayakan finansial sambil menghindari kenaikan tarif listrik bagi konsumen.
“Ini tidak berarti kami tidak akan melanjutkan CCS, kami berkomitmen untuk maju. Kami sedang menjajaki peta jalan kemitraan jangka panjang untuk mendukung inisiatif ini,” tambah Chairani.
Baca juga: RI-UEA Sepakat Perkuat Kerja Sama, Kembangkan Energi Bersih Hingga Pembiayaan CCS-CCUS
PLN belum menentukan total investasi untuk proyek CCS-nya. Chairani menyebut bahwa membangun fasilitas CCS dapat semahal membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru, yang berpotensi menggandakan biaya produksi listrik. Sementara itu, PLN terus mengeksplorasi sumber energi terbarukan untuk mengurangi emisi.
Salah satu tantangan utama dalam penerapan CCS/CCUS di pembangkit listrik adalah penalti energi. Chairani menjelaskan bahwa teknologi CCS dapat mengurangi efisiensi pembangkit listrik akibat penalti listrik dan panas, yang pada akhirnya menambah biaya pada struktur tarif listrik.
“Sekitar 25-35% energi yang dihasilkan akan digunakan oleh sistem CCS, yang menciptakan penalti panas dari uap serta konsumsi listrik tambahan dari pembangkit listrik yang ada. CCS berpotensi menggandakan tarif listrik,” ujar Chairani.
Untuk mengembangkan teknologi CCS/CCUS di pembangkit listriknya, PLN melakukan kajian dengan bekerja sama dengan mitra domestik dan internasional.
Baca juga: Capai Net Zero Emission Lewat Teknologi CCS-CCUS, Kementerian ESDM: Perlu Penyesuaian SDM
Proyek percontohan yang telah dikaji meliputi:
– PLTU Suralaya (4×400 MW) bekerja sama dengan Korea Carbon.
– PLTU Indramayu (3×300 MW) dan PLTGU Tambak Lorok (779 MW) dengan perusahaan Jepang JERA dan JGC.
– PLTU Tanjung Jati B (4×660 MW) bekerja sama dengan INPEX.
Selain itu, Toshiba Energy Systems & Solutions Corporation dan PLN Nusantara Power (PLN-NP) telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) untuk mengeksplorasi aplikasi teknologi penangkapan CO2 di PLTU Paiton (2×400 MW).
November lalu, Direktur Utama PLN NP, Ruly Firmansyah, mengumumkan bahwa studi kelayakan untuk CCS/CCUS telah selesai dilakukan di PLTU Indramayu, Rembang, Pacitan, Tanjung Awar-Awar, dan Teluk Balikpapan di Jawa. Studi kelayakan untuk PLTU Muara Tawar dan Tanjung Awar-Awar masih berlangsung. ***