Ecobz.asia – Pemerintah Indonesia menegaskan peran strategisnya dalam perlindungan dan restorasi lahan gambut pada pertemuan The Peatland Breakthrough yang digelar di Kantor Misi Peru untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Kamis (25/9/2025).
Pertemuan ini merupakan agenda dalam rangkaian New York Climate Week yang menghadirkan pemerintah, mitra global, dan lembaga donor internasional.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Agus Justianto, Analis Kebijakan Ahli Utama Kementerian Kehutanan, bersama Krisdianto, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerjasama Luar Negeri Kementerian Kehutanan. Keduanya menegaskan bahwa lahan gambut memegang peranan penting bagi strategi nasional Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim, konservasi keanekaragaman hayati, serta tata kelola lahan berkelanjutan.
Agus menyampaikan bahwa Indonesia memiliki lahan gambut tropis terbesar di dunia seluas 24,67 juta hektare, dengan cadangan karbon sekitar 46 gigaton atau setara 8–14 persen dari total karbon gambut dunia.
“Pengelolaan dan pemulihan ekosistem gambut menjadi krusial untuk memenuhi target iklim nasional maupun internasional, termasuk komitmen NDC di bawah Perjanjian Paris dan program FOLU Net Sink 2030,” ujarnya.
Agus Justianto menjelaskan, Indonesia telah melakukan pemulihan ekosistem gambut melalui regulasi, kebijakan, dan panduan teknis yang melibatkan masyarakat serta sektor swasta.
Hingga kini, pemulihan mencakup 3,7 juta hektare di area konsesi serta lebih dari 52.000 hektare di kawasan masyarakat melalui program Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG). Upaya tersebut dijalankan dengan pendekatan 3R: rewetting (pembasahan kembali), revegetasi, dan revitalisasi mata pencaharian masyarakat.
Dalam forum itu, Agus juga memaparkan peran Indonesia melalui pembentukan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) pada 2020 dengan mandat memulihkan 1,2 juta hektare gambut di tujuh provinsi prioritas.
Selain itu, Indonesia mendirikan International Tropical Peatlands Center (ITPC) sebagai wadah kerja sama ilmiah, kebijakan, dan praktik di Asia Tenggara, Kongo Basin, dan Peru.
Krisdianto menambahkan bahwa kerja sama internasional menjadi kunci dalam memperkuat upaya restorasi. Menurutnya, partisipasi aktif pemerintah, masyarakat lokal, sektor swasta, dan lembaga donor dapat mempercepat pencapaian target restorasi gambut sekaligus mendukung kesejahteraan masyarakat.
“Indonesia percaya bahwa keberhasilan perlindungan lahan gambut hanya dapat dicapai jika ada sinergi yang kuat antara kebijakan nasional, dukungan global, dan aksi nyata di tingkat tapak,” kata Krisdianto.
Krisdianto juga menegaskan pentingnya menjaga momentum diplomasi iklim. “Melalui forum ini, Indonesia ingin menunjukkan bahwa upaya konservasi gambut bukan hanya isu lingkungan, melainkan bagian dari komitmen bersama untuk melindungi masa depan planet kita,” ujarnya seraya menekankan bahwa keberhasilan restorasi gambut global hanya bisa dicapai lewat kolaborasi lintas sektor, dukungan pendanaan jangka panjang, serta pertukaran pengetahuan berbasis sains.
“Lahan gambut harus dipandang bukan sebagai liabilitas iklim, melainkan sebagai kekuatan super iklim yang dapat menjadi solusi jika dikelola dengan tepat,” tegasnya.
Pertemuan The Peatland Breakthrough dipimpin oleh Menteri Lingkungan Hidup Peru, dan dihadiri Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Republik Kongo, Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Republik Demokratik Kongo, serta Indonesia, juga mitra internasional seperti European Investment Bank, Rockefeller Foundation, hingga Bezos Family Foundation.
The Peatland Breakthrough merupakan inisiatif global yang dipimpin Wetlands International, UNEP, FAO, Greifswald Mire Centre, dan Landscape Finance Lab, dengan dukungan Global Peatlands Initiative dan High-Level Climate Champions.
Agenda ini bertujuan membangun momentum menuju peluncuran resmi inisiatif tersebut pada Konferensi Iklim PBB (COP30) mendatang. ***