Ecobiz.asia — Pemerintah meluncurkan Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2025–2045 sebagai panduan nasional dalam menjaga keanekaragaman hayati.
Dokumen strategis ini disusun bersama Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Bappenas, BRIN, Kementerian Kehutanan, serta mitra internasional seperti GIZ.
IBSAP menekankan perlunya tata kelola biodiversitas yang lebih kuat melalui instrumen regulasi, diplomasi lingkungan, hingga skema pembiayaan berkelanjutan.
Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan bahwa peluncuran ini akan diikuti dengan instruksi turunan berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden, hingga peraturan menteri.
“Kita memiliki komitmen kuat untuk memastikan pengelolaan keanekaragaman hayati dilakukan secara berkelanjutan. Biodiversitas adalah modal pembangunan dan warisan bangsa yang harus kita jaga sampai generasi berikutnya,” ujar Hanif di Jakarta, Selasa (19/8/2025).
Menteri PPN/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy, menambahkan, IBSAP menjadi langkah awal penting untuk integrasi data biodiversitas.
“Keanekaragaman ini bukan soal konservasi saja. Ini juga soal pertumbuhan ekonomi, kehidupan, dan kemanusiaan kita,” tegasnya.
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, menyoroti peran riset dan inovasi untuk mendukung pemanfaatan sumber daya hayati secara berkelanjutan.
“Ini untuk kemajuan ekonomi kita di masa mendatang yang lebih berbasis sumber daya alam lokal yang terbarukan,” katanya.
Data KLH/BPLH menunjukkan tekanan serius terhadap biodiversitas Indonesia. Lebih dari 60% mamalia endemik dan 31% tumbuhan endemik berstatus terancam, sementara 50% ekosistem gambut telah terdegradasi.
Ancaman lain datang dari spesies invasif, pencemaran, hingga dampak perubahan iklim.
IBSAP 2025–2045 diarahkan pada lima fokus yaitu restorasi ekosistem kritis, penguatan kawasan konservasi darat dan laut, pemberdayaan masyarakat adat, pengembangan ekonomi hijau, dan diplomasi global. Strategi ini juga menekankan pentingnya sinergi lintas lembaga serta penegakan hukum lingkungan yang tegas.
“Tidak boleh ada lagi keanekaragaman hayati yang tak terjaga. Setiap spesies dan setiap kawasan bernilai penting harus masuk dalam sistem perlindungan yang jelas,” kata Hanif.
Peluncuran IBSAP juga ditandai dengan penerbitan tiga buku Status Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia yang memotret kondisi ekoregion Sumatera dan Sulawesi. Publikasi ini menjadi pijakan ilmiah dalam menyusun kebijakan. ***