Ecobiz.asia — Pemerintah Indonesia tengah merampungkan dokumen Second Nationally Determined Contribution (Second NDC), yang akan menjadi arah kebijakan iklim nasional untuk periode 2031–2035.
Dokumen ini memuat target ambisius di tengah keharusan menurukan emisi gas rumah kaca hingga 60 persen pada 2035 dibandingkan level tahun 2019, dan menempatkan sektor energi sebagai kunci dalam proses transisi menuju sistem rendah karbon.
“Second NDC bukan sekadar laporan, tapi peta jalan menuju masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan,” ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Hanif Faisol Nurofiq dalam pembahasan dokumen Second NDC, Jumat (18/7/2025).
Keharusan pengurangan emisi sebesar 60 persen mengacu pada keputusan COP28 (Decision 1/CMA.5) yang menyepakati batas waktu puncak emisi global antara 2020–2025.
Dengan angka emisi Indonesia pada 2019 tercatat 1.147 juta ton CO2e, berarti emisi harus ditekan hingga sekitar 459 juta ton CO2e dalam sepuluh tahun ke depan.
Sektor energi menjadi sorotan utama karena menyumbang lebih dari separuh total emisi nasional. Pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan meningkat hingga 33 persen pada 2035.
Langkah-langkah pendukungnya antara lain efisiensi energi, elektrifikasi transportasi, dan penghentian bertahap penggunaan energi fosil.
Sektor kehutanan dan penggunaan lahan juga memainkan peran penting melalui komitmen FOLU Net Sink 2030, yakni menurunkan emisi dari deforestasi dan meningkatkan penyerapan karbon melalui restorasi hutan.
Laju deforestasi ditargetkan turun dari 0,918 juta hektare per tahun menjadi kurang dari 0,3 juta hektare.
Adapun sektor limbah, pertanian, dan kelautan turut dimasukkan dalam strategi komprehensif Second NDC. Kebijakan Zero Waste Zero Emission 2050 akan menjadi landasan transformasi sistem pengelolaan limbah, sementara sektor pertanian diarahkan ke praktik rendah emisi.
Sektor kelautan, yang selama ini kurang diperhatikan, akan didorong sebagai penyerap karbon biru melalui rehabilitasi padang lamun dan terumbu karang.
Untuk memastikan transparansi, pemerintah memperkenalkan Sistem Registri Nasional (SRN) sebagai platform pemantauan publik atas implementasi kebijakan iklim. Di tingkat akar rumput, pemerintah memperluas cakupan Program Kampung Iklim (ProKlim) hingga mencakup 20.000 desa pada 2035.
“Perubahan iklim adalah tantangan kolektif. Indonesia tidak hanya memenuhi kewajiban global, tapi juga merancang masa depan yang lebih tangguh dan berkeadilan,” tegas Hanif. ***