MORE ARTICLES

Bagaimana Indonesia Menghadapi Regulasi Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa

MORE ARTICLES

Ecobiz.asia – Pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto mengusung PRABOWONOMICS, yaitu istilah yang digunakan untuk menggambarkan konsep yang berusaha menemukan keseimbangan antara kapitalisme dan sosialisme, dengan fokus pada pembangunan ekonomi yang berbasis ketahanan pangan, kedaulatan energi, sumber daya lokal, dan pasar domestik. Konsep ini juga berusaha menemukan keseimbangan antara kepentingan rakyat dan pengusaha, dengan fokus pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berbasis sumber daya lokal, agar tercipta ekonomi yang kuat, adil, dan berkelanjutan untuk Indonesia

Dari aspek ekonomi politik, pemerintahan Prabowo masuk pada hubungan antara negara produsen dan negara konsumen dalam dinamika perdagangan global. Indonesia sebagai Negara Produsen, memiliki potensi besar untuk menjadi negara maju karena kekayaan alam yang berlimpah. Namun, pekerjaan besar untuk memanfaatkan potensi ini, diperlukan kebijakan yang tepat dan stabilitas politik serta hukum yang kondusif untuk menarik investasi asing

Perlu disadari bahwa Negara Produsen seringkali tergantung pada pasar konsumen untuk memasarkan produk-produknya. Sebaliknya, negara konsumen, seperti Uni Eropa, membutuhkan produk-produk dari negara produsen untuk memenuhi kebutuhan domestiknya. Ketergantungan ini menciptakan hubungan yang saling menguntungkan, tetapi juga menuntut kerja sama dan kebijakan yang mendukung perdagangan yang adil dan berkelanjutan.

Baca juga: Mau Luncurkan Indonesia Carbon Credit, RI Pantau Kerangka Operasi Perdagangan Karbon di COP29 

Dalam konteks ini, kebijakan ekonomi politik Indonesia yang tepat dan baik dapat membantu memperkuat hubungan perdagangan antara negara produsen dan negara konsumen, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Politik ekonomi pasar yang mempengaruhi posisi Indonesia sangat kompleks dan melibatkan berbagai faktor.  Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan, seperti (1) Kebijakan pemerintah, seperti subsidi, insentif fiskal, dan regulasi, sangat mempengaruhi daya saing Indonesia di pasar internasional. Misalnya, subsidi pada sektor pertanian dapat membantu meningkatkan produksi dan mengurangi biaya produksi, sehingga produk-produk negara produsen lebih kompetitif di pasar internasional; (2) Tarif dan kebijakan perdagangan, seperti bea masuk dan pengawasan impor, dapat mempengaruhi akses negara produsen ke pasar internasional. Tarif tinggi dapat menghambat ekspor, sementara kebijakan perdagangan yang lebih terbuka dapat membuka peluang ekspor bagi negara produsen; (3) Ketergantungan pada Komoditas, sebagai negara produsen yang tergantung pada satu atau beberapa komoditas utama untuk ekspor mereka rentan terhadap fluktuasi harga pasar internasional. Diversifikasi ekonomi menjadi penting untuk mengurangi risiko ini; (4) Kerja sama internasional, seperti perjanjian perdagangan bebas dan kemitraan ekonomi, dapat membantu Indonesia memperluas pasar dan meningkatkan akses ke teknologi dan modal asing; (5)  Stabilitas politik dan hukum sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi dan pertumbuhan ekonomi; (6) Inovasi dan Teknologi, diperlukan penggunaan teknologi canggih dan inovasi dalam produksi dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas produk, sehingga meningkatkan daya saing negara produsen di pasar internasional; (7) Organisasi internasional seperti OPEC, WTO, dan IMF memiliki peran penting dalam menentukan kebijakan ekonomi global yang dapat mempengaruhi posisi negara produsen di pasar internasional.  Dengan memahami dan mengelola faktor-faktor ini, Indonesia  dapat meningkatkan daya saing mereka di pasar internasional dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Politik Ekonomi Global melalui Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM)

Uni Eropa (UE) pada tanggal 10 Mei 2023 merilis regulasi Regulasi Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dan mulai berlaku pada 17 Mei 2023. Fase atau tahap transisi CBAM sudah dimulai pada 1 Oktober 2023 dan akan berlangsung hingga tahun 2025, sebelum penerapan definitif mulai pada tahun 2026. 

Read also:  Agropolitan Padi Organik Berbasis Nature Based Solution Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional

CBAM merupakan upaya UE untuk mengurangi emisi karbon dan mencapai target net-zero, tetapi juga menimbulkan berbagai tantangan dalam dinamika politik global. UE juga mengadopsi regulasi ini untuk mendorong pajak pembatasan karbon pertama di dunia untuk barang impor, yang akan diterapkan secara bertahap mulai tahun 2026. Instrumen kebijakan yang dirancang oleh UE ini untuk memastikan bahwa produk impor yang masuk ke UE mencerminkan biaya emisi karbon yang terkait dengan produksinya.

Secara khusus, CBAM bertujuan untuk mengurangi risiko “leakage” emisi karbon ke negara-negara yang memiliki kebijakan emisi yang lebih ringan, di mana perusahaan dapat memindahkan produksi mereka ke negara-negara dengan kebijakan iklim yang kurang ketat, dan mencegah kompetisi yang tidak adil antara produk domestik dan produk impor. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa harga produk impor mencerminkan biaya emisi karbon yang terkait dengan produksinya, mirip dengan sistem perdagangan emisi European Union Emissions Trading System (EU ETS). 

Baca juga: Mahasiswa UGM Kembangkan Teknologi Carbon Capture dari Limbah Tongkol Jagung, Seperti Apa?

CBAM juga dirancang untuk mematuhi peraturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan memastikan bahwa mekanisme ini tidak melanggar prinsip-prinsip perdagangan internasional. Tujuannya adalah untuk menghindari perlakuan diskriminatif terhadap negara-negara non-UE.

Saat ini, Tahap Transisi CBAM (2023-2025), yaitu Pelaporan Emisi importir di EU, sebuah dokumen perusahaan yang harus melaporkan jumlah emisi karbon yang terkandung dalam produk mereka, tetapi tidak ada kewajiban untuk membayar biaya karbon tambahan.  Lalu mereka akan masuk pada Tahap Penuh (mulai 2026), yaitu tahap pada kewajiban untuk (1) Pembelian Sertifikat CBAM, dimana importir harus membeli sertifikat CBAM untuk menutup selisih antara harga karbon yang dibayar di negara produksi dan harga karbon yang diterapkan di Uni Eropa. Harga sertifikat ini dihitung berdasarkan harga lelang rata-rata mingguan dari izin emisi UE (EU ETS); dan (2) Pengurangan Biaya, jika importir dapat membuktikan bahwa harga karbon telah dibayar selama produksi barang yang diimpor, jumlah yang sesuai dapat dikurangi dari jumlah sertifikat yang harus diserahkan.

Pada tahap awal, CBAM diterapkan pada komoditas seperti besi, baja, aluminium, semen, pupuk, listrik, dan hidrogen. Komoditas ini dipilih karena memiliki intensitas emisi karbon yang tinggi dan berisiko signifikan terhadap kebocoran karbon.  Pada tahap ini importir harus mengukur dan melaporkan emisi karbon yang terkandung dalam produk impor mereka dengan menggunakan metode yang sesuai dengan standar EU ETS. Data harus akurat dan transparan untuk memastikan kepatuhan dengan regulasi.

CBAM di COP 29 di Baku, Azerbaijan

Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP 29), di Baku, Azerbaijan, dari tanggal 11 hingga 22 November 2024, merupakan forum multilateral di mana negara-negara anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Pada forum ini, mereka berkumpul untuk membahas dan mengambil keputusan terkait upaya global melawan perubahan iklim. CBAM menjadi salah satu isu yang menonjol dalam diskusi informal, meskipun tidak termasuk dalam agenda resmi.

Negara-negara BASIC (Brazil, India, South Africa, dan China) secara aktif mengajukan permintaan untuk membahas CBAM di COP 29. Mereka menekankan pentingnya pendekatan yang seimbang agar tidak ada diskriminasi ekonomi, sambil tetap mencapai tujuan iklim global.  Mereka menyuarakan kekhawatiran bahwa CBAM dapat merugikan ekonomi mereka dan mengklaim bahwa kebijakan ini melanggar prinsip “common but differentiated responsibilities” yang diakui dalam Perjanjian Paris. Prinsip ini menyatakan bahwa negara-negara maju memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menangani perubahan iklim karena mereka lebih banyak menyumbang emisi gas rumah kaca secara historis.

Read also:  Banjir Jabodetabek dan Neraca Air yang Tak Seimbang

Meskipun ada diskusi yang cukup panjang, proposal untuk membahas CBAM secara mendetail tidak disepakati dan dinyatakan akan dibicarakan lagi di masa depan.  Uni Eropa, sebagai penggagas CBAM, berargumen bahwa mekanisme ini dirancang untuk mengatasi kebocoran karbon dan memastikan bahwa produk impor tidak mendapatkan keuntungan kompetitif yang tidak adil karena kurangnya biaya karbon. Uni Eropa menekankan bahwa CBAM adalah bagian dari strategi mereka untuk mencapai net-zero emisi karbon pada tahun 2050 dan mendorong standar iklim yang lebih tinggi di seluruh dunia.

Negara-negara berkembang juga menyoroti beberapa kekhawatiran utama terkait CBAM, seperti (1) Diskriminasi Ekonomi: Mereka berpendapat bahwa CBAM dapat merugikan ekonomi mereka dengan menambah biaya ekspor dan mengurangi daya saing produk mereka di pasar Uni Eropa; dan (2) Prinsip Keadilan: Mereka mengklaim bahwa CBAM melanggar prinsip keadilan dalam upaya global melawan perubahan iklim, di mana negara-negara maju harus memikul tanggung jawab yang lebih besar.

Meskipun tidak ada keputusan resmi tentang CBAM, diskusi ini menunjukkan pentingnya dialog dan kerjasama internasional dalam menghadapi tantangan iklim. Beberapa poin menarik yang dihasilkan dari diskusi di beberapa beberapa pertemuan di UE pavilion adalah (1) komitmen untuk Kerjasama: ada kesepakatan untuk melanjutkan dialog tentang CBAM di masa depan dan mencari solusi yang adil dan efektif; (2) Pendanaan Iklim: Kesepakatan untuk meningkatkan pendanaan iklim dari negara-negara maju sebesar 300 miliar dollar AS per tahun mulai tahun 2035 untuk membantu negara-negara miskin mengatasi dampak perubahan iklim; (3) Kredit Karbon: Kesepakatan untuk memungkinkan negara-negara menetapkan kredit karbon guna mendapatkan pendanaan dan mengimbangi emisi mereka, atau memperdagangkannya di bursa.

Tercatat juga bahwa pembahasan tentang CBAM di COP 29 mencerminkan kompleksitas dan kontroversi dalam dinamika politik iklim global. Meskipun tidak ada kesepakatan definitif, topik ini diharapkan akan terus menjadi perhatian utama dalam perundingan internasional di masa depan.

Baca juga: Indonesia Komitmen Pada Paris Agreement, Lakukan Aksi Mitigasi Perubahan Iklim

Pengaruh CBAM Terhadap Indonesia

Indonesia bersama Malaysia telah aktif mengkritik kebijakan ini dan mengajak negara-negara ASEAN lainnya untuk merespons secara proaktif.  Tanggapan internasional terhadap CBAM bervariasi, dengan beberapa negara melihatnya sebagai langkah penting untuk mengatasi perubahan iklim, sementara yang lain mengkhawatirkan dampak ekonominya.


Tanggapan internasional terhadap CBAM bervariasi, dengan beberapa negara melihatnya sebagai langkah penting untuk mengatasi perubahan iklim, sementara yang lain mengkhawatirkan dampak ekonominya.

Indonesia memperkuat kerjasama internasional, khususnya dengan negara-negara ASEAN, untuk mengembangkan strategi bersama dalam menghadapi CBAM. Ini termasuk pencarian pasar ekspor alternatif dan peningkatan partisipasi dalam perundingan perdagangan internasional. Indonesia juga berpartisipasi dalam forum-forum global untuk menyuarakan kepentingannya dan memastikan bahwa kebijakan iklim internasional adil bagi negara berkembang.

CBAM merupakan tantangan besar bagi negara produsen seperti Indonesia, tetapi juga memberikan peluang untuk berinovasi dan meningkatkan keberlanjutan ekonomi. Dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi CBAM dan tetap kompetitif di pasar internasional.  CBAM memberikan dorongan bagi Indonesia untuk berinvestasi dalam teknologi yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Peningkatan efisiensi energi dan pengurangan emisi karbon dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global.

Sektor-sektor seperti besi, baja, aluminium, dan semen di Indonesia akan terdampak langsung oleh CBAM. Peningkatan biaya ekspor dapat terjadi akibat tarif tambahan berdasarkan emisi karbon, yang dapat mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar Uni Eropa. Menurut Kementerian Perdagangan Indonesia, Indonesia mungkin akan menghadapi peningkatan tarif sebesar 16,8% untuk ekspor besi dan baja ke Uni Eropa.

Read also:  SVLK di Persimpangan: Menjaga Legitimasi Global dan Masa Depan Hutan Indonesia

Apa yang Sedang Disiapkan Pemerintahan Prabowo

Saat ini Indonesia mengembangkan kebijakan yang mendukung praktik berkelanjutan, termasuk regulasi pajak karbon, dukungan untuk energi terbarukan, dan insentif untuk teknologi ramah lingkungan. Regulasi ini diupayakan untuk terintegrasi dengan standar internasional untuk memudahkan ekspor dan mengurangi hambatan perdagangan. 

Indonesia sedang mengembangkan regulasi pajak karbon sebagai langkah antisipatif terhadap CBAM. Regulasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa emisi karbon dari berbagai sektor industri dikenai pajak yang sesuai, sehingga dapat mengurangi dampak ekonomi dari penerapan CBAM oleh Uni Eropa. Regulasi ini diharapkan dapat diselesaikan sebelum tahun 2026, saat CBAM mulai diterapkan secara penuh.  Pertimbangkan penerapan regulasi pajak karbon domestik juga untuk menyeimbangkan biaya ekspor dan mendorong perusahaan untuk mengurangi emisi karbon. Ini juga dapat meningkatkan persiapan perusahaan-perusahaan Indonesia dalam menghadapi CBAM. Selain itu,

Indonesia sedang berupaya mempercepat transisi ke energi bersih dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan biomassa. Pemerintah juga memberikan insentif bagi perusahaan yang mengadopsi teknologi hijau dan ramah lingkungan. Pemerintah dan industri di Indonesia berupaya meningkatkan standar keberlanjutan dengan mengadopsi praktik-praktik ramah lingkungan dalam produksi. Ini termasuk penggunaan teknologi efisiensi energi, pengurangan limbah, dan peningkatan kualitas produk agar memenuhi standar internasional. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global.

Baca juga: Kementerian ESDM – AFD Perancis Teken LoI Atasi Perubahan Iklim dan Dukung Transisi Energi

Selain itu, Pemerintahan Prabowo mendorong program peningkatan kapasitas dan keterampilan tenaga kerja dalam industri yang terkena CBAM. Pelatihan dan pendidikan yang tepat dapat memastikan bahwa tenaga kerja memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengurangi emisi karbon. Mendorong investasi dalam teknologi bersih dan inovasi untuk meningkatkan efisiensi energi dan mengurangi emisi karbon, serta memanfaatkan program pendanaan internasional untuk proyek-proyek energi bersih dan berkelanjutan.

Penting bagi Indonesia memperkuat kerja sama dengan negara-negara lain, terutama di kawasan Asia Tenggara, untuk mengembangkan strategi bersama dalam menghadapi CBAM.  Negara-negara di kawasan Asia Tenggara dapat bekerjasama untuk mengembangkan strategi bersama dalam menghadapi CBAM.  Sehingga kolaborasi ini dapat mencakup pengembangan teknologi bersih, peningkatan efisiensi energi, dan promosi praktik pertanian berkelanjutan

Meningkatkan partisipasi dalam perundingan perdagangan internasional untuk memastikan kepentingan Indonesia terwakili.  Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi CBAM dan meminimalkan dampak negatifnya terhadap ekonomi nasional. Implementasi regulasi yang tepat, transisi ke energi bersih, kerja sama internasional, peningkatan standar keberlanjutan, pendidikan dan pelatihan, serta inisiatif khusus, semuanya berperan penting dalam memastikan bahwa Indonesia tetap kompetitif di pasar internasional.

Indonesia telah meluncurkan beberapa inisiatif dan program khusus untuk mendukung transisi ke ekonomi rendah karbon. Contohnya termasuk program pembiayaan hijau, insentif fiskal untuk energi terbarukan, dan proyek percontohan untuk teknologi bersih.  Program-program ini bertujuan untuk mendorong inovasi dan investasi dalam sektor-sektor yang mendukung pengurangan emisi karbon.  Untuk Indonesia yang lebih baik. ***

 

Oleh: Ir. Diah. Y. Suradiredja, M.H (Mahasiswa Program Doktoral, IPB University)

TOP STORIES

MORE ARTICLES

Dorong Investasi Energi Hijau, Menko Airlangga Ajak Temasek Perluas Portofolio di Indonesia

Menko Airlangga juga menekankan pentingnya kolaborasi lebih lanjut dalam pengembangan energi hijau. Ia mendukung proyek Temasek melalui Sembcorp Urban yang pada awal 2025 memulai pembangunan kawasan industri hijau di Jawa Barat, Tanjung Sauh, dan Tembesi, Batam.

BRIN Gandeng Universitas Waseda Jepang Kembangkan Basis Data Jejak Karbon

Ecobiz.asia - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggandeng Universitas Waseda Jepang untuk mengembangkan basis data jejak karbon guna memperkuat kebijakan mitigasi perubahan iklim...

KLH/BPLH Segel PT Xin Yuan Steel Indonesia karena Cemari Udara dan Timbun Limbah Ilegal

Ecobiz.asia — Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menyegel dan menghentikan operasional tungku pembakaran milik PT Xin Yuan Steel Indonesia di Balaraja, Kabupaten...

PLN Nusantara Power Ambil Alih Penuh PLTMG Nias, Perkuat Keandalan Listrik di Kepulauan

Ecobiz.asia — PLN Nusantara Power (PLN NP) resmi mengambil alih penuh pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) Nias berkapasitas 25 megawatt (MW), mempertegas...

Belajar dari Brasil, Bahlil Mau Tebu di Merauke Jadi Ethanol Saja

Ecobiz.asia — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengusulkan optimalisasi perkebunan tebu di Merauke untuk bahan baku ethanol. Inspirasi datang dari model...