Dari Desa ke Panggung Global: Diplomasi Petani Perempuan Indonesia Menghadapi EUDR

MORE ARTICLES

Diah Suradiredja (Pemerhati Perdagangan Komoditas Berkelanjutan)

Oleh: Diah Suradiredja (Pemerhati Perdagangan Komoditas Berkelanjutan)

Ecobiz.asia – Uni Eropa berencana mengimplementasikan European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR) pada akhir Desember 2025. Regulasi ini lahir dari niat baik untuk menekan deforestasi global dan memperkuat upaya melawan perubahan iklim. Namun, bagi negara berkembang seperti Indonesia, EUDR menghadirkan tantangan yang sangat serius.

Ada tiga aspek krusial yang menjadi perhatian: benchmarking system, kewajiban due diligence termasuk geolokasi, serta pembuktian hubungan hukum antara petani dan lahan. Persyaratan tersebut berpotensi besar mengeksklusi jutaan petani kecil dari rantai pasok global. Indonesia, yang memasok komoditas utama seperti kelapa sawit, kopi, kakao, dan karet, menghadapi risiko bukan hanya pada sektor ekonomi dan devisa negara, tetapi juga pada kesejahteraan masyarakat desa, stabilitas sosial, dan pencapaian SDGs.

Menanggapi hal tersebut, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menyelenggarakan Roadshow Indonesian Smallholders Komoditas Unggulan Indonesia di Brussel, London, dan Roma, yang diinisiasi oleh Wakil Menteri Luar Negeri, Bapak Arief Havas Oegroseno. Melalui kegiatan ini, perempuan petani smallholders, khususnya petani perempuan Indonesia yang terdampak regulasi EUDR, mendapat kesempatan berdiskusi langsung dengan pengusaha/importir komoditas unggulan Indonesia serta komunitas pengambil kebijakan EUDR yang berada di Brussel, London, dan Roma.

Pada tanggal 13–21 September 2025, sembilan petani perempuan Indonesia menempuh perjalanan panjang dari desa-desa di Sumatera, Jawa, Sulawesi, hingga Papua Barat untuk hadir di forum-forum penting di Brussel, London, dan Roma (FAO). Mereka bukan pejabat atau diplomat, tetapi petani kecil yang sehari-hari mengelola kebun kopi, kakao, karet, dan sawit rata-rata hanya 1–2 hektare per keluarga.

Tujuan mereka sederhana, tetapi sangat strategis: menyampaikan langsung suara petani kecil, terutama perempuan, kepada para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan Eropa terkait implementasi regulasi EUDR.

Mengapa Perjalanan Ini Penting?

Perjalanan para petani perempuan Indonesia ke Brussel, London, dan Roma bukan sekadar kunjungan seremonial, tetapi membawa pesan strategis, yakni masa depan perdagangan global komoditas strategis Indonesia, sangat terkait dengan nasib petani kecil.

Empat komoditas utama, sawit, kopi, kakao, dan karet adalah tulang punggung ekspor Indonesia ke Uni Eropa, sekaligus sumber kehidupan jutaan keluarga di desa.

  1. Sawit: Indonesia memproduksi sekitar 47 juta ton CPO pada 2023. Uni Eropa setiap tahun mengimpor rata-rata 3,5 juta ton sawit dari Indonesia, menjadikannya salah satu pasar ekspor terbesar. Lebih dari 40% produksi sawit nasional dihasilkan oleh petani kecil.
  2. Kopi: Pada 2022, Indonesia mengekspor sekitar 102 ribu ton kopi hijau ke UE, dengan kontribusi signifikan dari petani kecil. Faktanya, hampir seluruh kebun kopi di Indonesia dikelola oleh petani kecil yang rata-rata hanya memiliki 1–2 hektare. Kopi Arabika Aceh dan Jawa Barat bahkan menjadi specialty coffee premium di kafe-kafe Eropa.
  3. Kakao: Indonesia adalah salah satu produsen kakao terbesar dunia. Sebagian besar kakao rakyat berasal dari Sulawesi, Bali, dan Papua Barat. Di Bali, misalnya, Koperasi Kerta Semaya Samaniya (KSS) pernah mencapai produksi 55 ton kakao fermentasi kering per tahun dan mengekspor langsung ke Prancis, Belanda, dan Jepang.
  4. Karet: Indonesia termasuk pemasok utama karet dunia, dengan 1.100 petani di Jambi mengelola 2.200 hektare kebun rakyat. Getah karet dari kebun kecil inilah yang kemudian masuk ke industri ban, sarung tangan medis, hingga alas kaki yang dipakai masyarakat Eropa.

Melihat angka-angka ini, jelas bahwa petani kecil adalah aktor utama dalam rantai pasok global, namun justru mereka yang paling rentan tersingkir oleh regulasi EUDR. Aturan EUDR meminta hal-hal yang sangat teknis: peta polygon, titik geolokasi kebun, bukti legalitas lahan, hingga dokumen panjang due diligence. Semua ini rumit dan biayanya mahal. Tanpa bantuan nyata, jutaan petani kecil terancam tidak bisa lagi menjual hasil kebunnya ke Eropa.

Read also:  Libatkan Masyarakat Adat, Selamatkan Satwa Liar

Risikonya jelas:

  1. Ekspor strategis Indonesia ke Uni Eropa bisa terganggu.
  2. Ekonomi desa dan kesejahteraan keluarga petani jatuh terpuruk.
  3. Upaya keberlanjutan malah mundur, karena petani kehilangan semangat menjaga kebun secara lestari, bahkan bisa beralih ke cara-cara instan yang lebih merusak.

Itulah mengapa perjalanan para petani perempuan ini sangat penting. Mereka hadir bukan sekadar membawa data, tapi membawa wajah kemanusiaan yang sering hilang dalam diskusi teknokratis. Mereka mengingatkan bahwa di balik setiap tetes minyak sawit, setiap biji kopi, setiap butiran kakao, dan setiap tetes getah karet, ada tangan perempuan desa yang bekerja keras dengan penuh ketelatenan.

Pesan mereka sederhana tapi kuat: melindungi hutan tidak boleh berarti mengorbankan petani kecil. Karena tanpa petani kecil, terutama perempuan, tidak akan ada kopi, kakao, karet, atau sawit yang berkelanjutan. Dan tanpa mereka, tidak ada masa depan rantai pasok global yang adil.

Mengapa Petani Perempuan?

Fokus pada petani perempuan dalam roadshow ini bukanlah kebetulan. Mereka adalah wajah nyata dari rantai pasok global yang selama ini jarang terlihat. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan memegang peran ganda: di kebun mereka menanam, merawat, memanen, hingga mengolah hasil; di koperasi mereka ikut memimpin, mencatat, dan mengambil keputusan; di rumah mereka tetap menjadi tulang punggung keluarga, memastikan anak-anak bisa sekolah dan keluarga tetap terjaga.

Perempuan juga sering menjadi penjaga praktik pertanian yang berkelanjutan. Dengan ketelatenan, mereka merawat kebun kopi di bawah naungan pohon hutan, menjemur biji kakao dengan sabar, mengolah pupuk organik untuk sawit, atau menyadap karet tanpa merusak batang pohonnya. Semua ini dilakukan bukan sekadar untuk memenuhi standar pasar, melainkan untuk menjaga tanah dan hutan sebagai warisan bagi anak cucu.

Namun, selama ini suara perempuan jarang mendapat ruang di forum internasional. Diplomasi dan kebijakan global kerap hanya diisi angka produksi, data ekspor, atau narasi teknis dari para ahli. Kehadiran petani perempuan dalam roadshow ini menghadirkan sesuatu yang berbeda: narasi yang otentik, emosional, sekaligus strategis. Mereka berbicara bukan dengan bahasa teknokratis, tetapi dengan cerita kehidupan sehari-hari yang menyentuh hati.

Dengan cara itu, pesan yang dibawa menjadi lebih kuat: bahwa keberlanjutan tidak hanya soal peta polygon atau dokumen digital, tetapi juga tentang manusia yang setiap hari merawat bumi. Kehadiran petani perempuan membuat diplomasi Indonesia lebih berwarna, lebih dekat dengan realitas lapangan, dan lebih sulit diabaikan oleh para pembuat kebijakan maupun pelaku industri di Eropa.

Seperti yang mereka sampaikan dalam forum di Roma: “Kami mungkin kecil, tapi kami ada. Dan tanpa kami, tidak akan ada kopi, kakao, sawit, atau karet yang berkelanjutan.”

Apa yang Disampaikan oleh Para Petani Perempuan?

Di setiap kota yang mereka kunjungi, Brussel, London, dan Roma, para petani perempuan menyampaikan pesan yang sama: suara petani kecil tidak boleh hilang dalam kebijakan global.

Mereka bercerita tentang kehidupan sehari-hari di desa:

  • Bagaimana kebun sawit kecil seluas 2–3 hektare menjadi sumber biaya sekolah anak dan kebutuhan rumah tangga.
  • Bagaimana kopi rakyat yang ditanam di bawah pohon hutan memberi aroma khas yang sampai ke kafe-kafe Eropa, meski pemilik kebunnya sering kesulitan membayar sertifikasi.
  • Bagaimana kakao fermentasi yang telaten dijemur oleh tangan perempuan bisa memenangkan penghargaan dunia, tetapi tetap terancam kehilangan akses pasar karena aturan yang rumit.
  • Bagaimana getah karet dari kebun rakyat menjadi ban mobil, sarung tangan, hingga sepatu yang dipakai di seluruh dunia, walau petaninya hanya mendapat harga rendah dari pengumpul.
Read also:  Bisik-bisik tentang Sertifikasi: Mengapa MSPO Diakui, ISPO Dikesampingkan

Para petani perempuan menegaskan bahwa kenyataan di lapangan jauh berbeda dengan yang tertulis di atas kertas. Importir akan menurunkan kewajiban due diligence kepada pemasok, pabrik, koperasi, dan akhirnya ke petani kecil. Pada akhirnya, beban biaya, kewajiban teknologi digital, dan kerumitan administrasi justru jatuh ke pundak mereka yang paling lemah dalam rantai pasok.

Bagi petani kecil, kewajiban seperti peta polygon, GPS, atau dokumen legalitas lahan bukan sekadar syarat teknis, tetapi “tembok tinggi” yang sulit dilompati tanpa bantuan. Seperti yang mereka sampaikan dalam pertemuan, “Jika aturan ini tidak disertai dukungan, kami akan tersingkir bukan karena kami merusak hutan, tetapi karena kami tidak sanggup memenuhi dokumen yang diminta.”

Mereka juga mengajukan pertanyaan yang sederhana tapi tajam:

  1. Apakah industri dan pembeli di Eropa siap berbagi biaya kepatuhan, atau hanya menuntut dari petani kecil?
  2. Apakah standar nasional seperti ISPO atau praktek agroforestri kami diakui, atau semua harus diganti dengan sistem baru yang mahal?
  3. Apakah keberlanjutan hanya berarti melindungi pohon, tanpa melindungi perempuan dan keluarga yang hidup dari pohon itu?

Apa Respon Pemerintah UE, Industri, dan LSM Internasional?

Dari pihak Komisi Eropa (EU)

Pejabat Komisi Eropa menegaskan bahwa EUDR adalah regulasi yang sudah final dan tidak bisa diubah. Fokus ke depan adalah bagaimana regulasi ini diimplementasikan secara adil agar petani kecil tidak menjadi korban. Bahkan dalam dialog resmi disebutkan: “The EUDR is here, and there’s nothing we can do to revise it. Our task is to ensure smallholders don’t suffer.” .

Mereka juga menjelaskan bahwa persyaratan Due Diligence sebenarnya tidak ditujukan langsung kepada petani kecil, melainkan kepada perusahaan importir dan pelaku usaha di Eropa. Importir lah yang wajib memastikan rantai pasok mereka bebas deforestasi, lengkap dengan dokumen geolokasi dan legalitas.

Namun, di sinilah letak kekhawatiran terbesar dari para petani perempuan. Dalam praktik rantai pasok, importir akan tetap menurunkan kewajiban ini kepada pemasok, pabrik, koperasi, dan akhirnya ke petani kecil. Akibatnya, walaupun secara hukum due diligence adalah tanggung jawab perusahaan, biaya, teknologi, dan beban administrasi justru jatuh ke pundak petani kecil. Para petani perempuan menegaskan, inilah yang membuat mereka merasa EUDR seperti “tembok tinggi” yang sulit dilompati tanpa dukungan nyata.

Respon Industri dan Asosiasi Importir

Mendengar kritik langsung dari petani perempuan, perwakilan industri dan asosiasi importir Eropa menyatakan kekhawatiran atas keberlanjutan rantai pasok. Beberapa buyer mengakui bahwa jika beban kepatuhan sepenuhnya diturunkan ke petani, maka risiko terbesar adalah hilangnya akses produk rakyat ke pasar, yang pada gilirannya juga akan mengganggu kontinuitas pasokan mereka.

Karena itu, dalam diskusi di London, sejumlah asosiasi menyampaikan kesediaan untuk membicarakan mekanisme shared responsibility. Mereka mulai melihat perlunya model di mana biaya pemetaan, sertifikasi, dan sistem traceability sebagian ditanggung oleh buyer dan importir, bukan hanya petani. Sikap ini meskipun masih awal, memberi harapan bahwa narasi petani perempuan berhasil membuka ruang dialog baru dengan sektor swasta Eropa.

Respon LSM Internasional dan Akademisi

Dari pihak LSM internasional, seperti Competere, serta akademisi seperti Prof. Pietro Paganini, muncul suara yang lebih kritis. Mereka menekankan bahwa keberlanjutan tidak boleh hanya diukur dari aspek lingkungan, tetapi juga harus mencakup keadilan sosial dan ekonomi.

Read also:  Perkuat Pasar Karbon, KLH Resmi Teken MRA dengan GCC dan Plan Vivo

Menurut mereka, jika regulasi seperti EUDR hanya menekankan kepatuhan teknis tanpa memperhatikan kondisi riil di lapangan, maka rantai pasok justru akan kehilangan elemen terpenting: petani kecil yang menjaga kebun dan hutan dengan caranya sendiri. Paganini bahkan menyebut bahwa regulasi yang tidak inklusif berpotensi menimbulkan “green protectionism”, yaitu kebijakan yang atas nama lingkungan justru mendiskriminasi negara produsen.

LSM internasional juga menegaskan pentingnya membangun platform dialog multipihak secara permanen, di mana suara petani kecil, khususnya perempuan, bisa terus dipantau dan diintegrasikan dalam kebijakan keberlanjutan global. Mereka mendorong agar UK Forest Risk Commodities Regulation (UK FRC) maupun EUDR benar-benar belajar dari lapangan, bukan hanya menyalin pendekatan teknokratis.

Respons Media Internasional

Liputan media internasional memperkuat narasi yang dibawa Indonesia.

Agenzia Nova menyoroti bahwa delegasi sembilan petani perempuan Indonesia membawa kisah nyata tentang beban kepatuhan yang terlalu berat bagi petani kecil. Media ini menekankan bahwa suara perempuan dari desa berhasil menggugah simpati publik Eropa, sekaligus membuka perdebatan tentang inklusivitas regulasi keberlanjutan .

Euroactiv menulis bahwa pemerintah Indonesia secara aktif mendesak Uni Eropa untuk memberikan dukungan teknis dan finansial agar petani kecil dapat beradaptasi dengan EUDR. Artikel ini menggarisbawahi bahwa tanpa dukungan tersebut, risiko terbesar adalah hilangnya akses petani ke pasar global .

Beberapa media lain juga menekankan bahwa roadshow ini memberi wajah manusia pada isu teknis: kopi, kakao, karet, dan sawit bukan sekadar komoditas, melainkan sumber kehidupan keluarga petani kecil di negara produsen.

Dengan respon berlapis ini, terlihat jelas bahwa meski EUDR tidak bisa diubah, narasi petani perempuan berhasil menggeser diskusi dari sekadar kepatuhan teknis menjadi isu kemanusiaan dan keadilan sosial.

Way Forward

Perjalanan para petani perempuan Indonesia ke Brussel, London, dan Roma membuktikan bahwa diplomasi tidak hanya bisa dilakukan oleh pejabat atau diplomat, tetapi juga oleh mereka yang sehari-hari bekerja di kebun, menyadap getah, memetik buah kopi, menjemur kakao, dan merawat pohon sawit. Dari desa-desa jauh di pelosok Nusantara, suara mereka kini menggema di ruang-ruang pengambilan keputusan internasional.

Mereka hadir bukan untuk menolak keberlanjutan, tetapi untuk mengingatkan dunia bahwa keberlanjutan sejati tidak bisa dibangun dengan mengorbankan petani kecil. Setiap kebijakan, termasuk EUDR, harus melihat wajah manusia di balik komoditas: perempuan petani yang bangun sebelum matahari terbit, bekerja dengan telaten, dan berharap agar anak-anak mereka bisa hidup lebih baik.

Diplomasi berbasis cerita ini menegaskan satu pesan sederhana: perlindungan hutan harus berjalan seiring dengan perlindungan petani kecil. Tanpa petani kecil, terutama perempuan, tidak ada kopi, kakao, karet, atau sawit yang berkelanjutan. Dan tanpa mereka, tidak ada masa depan rantai pasok global yang adil.

Perjalanan ini bukanlah akhir, melainkan langkah awal menuju diplomasi yang lebih inklusif. Dari desa ke panggung global, suara petani perempuan Indonesia telah membuka mata dunia, bahwa keberlanjutan bukan sekadar peta dan dokumen, tetapi soal manusia yang merawat bumi dengan penuh cinta.

Perjalanan petani perempuan Indonesia ke Brussel, London, dan Roma menegaskan bahwa keberlanjutan bukan hanya soal hutan, peta, dan dokumen, tetapi juga tentang manusia yang merawat kebunnya dengan cinta. Dari desa-desa kecil di Nusantara, suara mereka kini terdengar di panggung global: tanpa petani kecil, tidak ada kopi, kakao, karet, atau sawit berkelanjutan, dan tanpa mereka tidak ada masa depan rantai pasok global yang adil. ***

TOP STORIES

MORE ARTICLES

Menjaga Kedaulatan Data, Mengamankan Ekspor: Pentingnya National Dashboard Komoditas Strategis

Oleh: Diah Suradiredja (Pemerhati Perdagangan Komoditas Berkelanjutan) Ecobiz.asia - Indonesia adalah salah satu pemasok utama komoditas strategis dunia seperti sawit, kopi, kakao, karet, kayu, hingga...

Libatkan Masyarakat Adat, Selamatkan Satwa Liar

Oleh: Ihwan, S.Sos., M.Si. (Analis Kebijakan Ahli Madya, Kementerian Kehutanan) Ecobiz.asia - Penurunan populasi satwa liar global sebesar 73 persen sejak 1970 hingga 2020 menjadi...

Bisik-bisik tentang Sertifikasi: Mengapa MSPO Diakui, ISPO Dikesampingkan

Oleh:Diah Suradiredja (Pemerhati perdagangan komoditas berkelanjutan) Ecobiz.asia - Uni Eropa (UE) bulan ini mengumumkan pengakuan terhadap Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) sebagai standar kredibel untuk...

Antara Komoditas Kelapa dan Sawit

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Ecobiz.asia - Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 tentang “Luas Tanaman Perkebunan...

Perkuat Pasar Karbon, KLH Resmi Teken MRA dengan GCC dan Plan Vivo

Ecobiz.asia – Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH)) resmi menandatangani Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan pengembang sertifikat karbon sukarela Global Carbon Council (GCC)...

TOP STORIES

Riset ABB: Indonesia Juara Transisi Energi di Asia Pasifik

Ecobiz.asia — Indonesia mencatat kemajuan pesat dalam transisi energi, ditandai meningkatnya adopsi energi terbarukan, arus investasi, dan integrasi teknologi digital. Riset Asia Pacific Energy Transition...

GEMS Targetkan 100 EV Truck Hauling Batu Bara Beroperasi di Site BIB Akhir Tahun Ini

Ecobiz.asia - Perusahaan tambang batu bara PT Golden Energy Mines Tbk (IDX: GEMS) terus memperluas upaya dekarbonisasi operasional dengan menargetkan penggunaan hingga 150 unit...

Menjaga Kedaulatan Data, Mengamankan Ekspor: Pentingnya National Dashboard Komoditas Strategis

Oleh: Diah Suradiredja (Pemerhati Perdagangan Komoditas Berkelanjutan) Ecobiz.asia - Indonesia adalah salah satu pemasok utama komoditas strategis dunia seperti sawit, kopi, kakao, karet, kayu, hingga...

Libatkan Masyarakat Adat, Selamatkan Satwa Liar

Oleh: Ihwan, S.Sos., M.Si. (Analis Kebijakan Ahli Madya, Kementerian Kehutanan) Ecobiz.asia - Penurunan populasi satwa liar global sebesar 73 persen sejak 1970 hingga 2020 menjadi...

Gakkum Kehutanan Bongkar Perdagangan Satwa Dilindungi di Gowa, 48 Burung Junai Emas Diamankan

Ecobiz.asia – Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan melalui Balai Gakkum Kehutanan Wilayah Sulawesi mengamankan seorang pelaku perdagangan satwa liar dilindungi di Kabupaten Gowa. Dalam operasi...