Ecobiz.asia – Indonesia mempelajari pengimplementasian konsep nesting dalam skema REDD+ sebagai strategi memperkuat tata kelola karbon di sektor kehutanan.
Pendekatan ini dipandang penting untuk memastikan proyek-proyek di tingkat tapak dan subnasional tetap terintegrasi dengan target nasional penurunan emisi sekaligus meningkatkan daya tarik kredit karbon Indonesia di pasar global untuk mendukung agenda FOLU Net Sink 2030.
“Konsep nesting ini penting agar aksi REDD+ di tingkat tapak maupun subnasional bisa selaras dengan pendekatan nasional, sekaligus menghindari risiko double counting dan memastikan mekanisme benefit sharing berjalan adil dan transparan,” kata Staf Ahli Menteri Kehutanan, Haruni Krisnawati, yang juga Ketua Harian I Operation Management Office (OMO) FOLU Net Sink 2030, dalam acara Multistakeholder Discussion on Nesting for Jurisdictional REDD+ to Support Forest Carbon Governance in Indonesia, Selasa (19/8/2025).
Haruni menjelaskan, sektor kehutanan tetap menjadi kontributor terbesar dalam target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Melalui strategi FOLU Net Sink 2030, sektor kehutanan tidak hanya ditargetkan mengurangi emisi, tetapi juga menjadi penyerap bersih.
“Komitmen ini harus dijaga, dengan dukungan semua sektor termasuk energi dan pertanian, serta pendanaan yang memadai,” ujarnya.
Lebih lanjut Haruni menjelaskan bahwa praktik REDD+ di Indonesia sudah berjalan lebih dari satu dekade untuk pengurangan emisi karbon, baik melalui dukungan Green Climate Fund maupun kemitraan bilateral dengan Norwegia. Namun, banyak inisiatif REDD+ berkembang di tingkat proyek dan provinsi sehingga diperlukan konsolidasi ke dalam sistem nasional.
“Dengan nesting, semua aksi di lapangan tetap dihargai, tapi perhitungannya konsisten dengan baseline nasional,” kata Haruni.
Forum multistakeholder ini juga membahas standar internasional, mekanisme pengukuran, hingga uji coba nesting di sejumlah provinsi.
Pada kesempatan itu perwakilan unsur stakeholder yang hadir menyatakan komitmennya untuk mendukung penguatan tata kelola karbon hutan. Haruni menegaskan kolaborasi pemerintah, mitra pembangunan, sektor swasta, akademisi, hingga masyarakat sipil sangat penting untuk menciptakan tata kelola karbon hutan yang kredibel dan akuntabel.
Country Coordinator UNEP UN-REDD di Indonesia Bambang Arifatmi, menyebut nesting sebagai instrumen penting mempercepat perdagangan karbon kehutanan.
“Nesting menjadi kunci untuk menyelaraskan, mengharmonisasikan, dan mengintegrasikan aksi di tingkat tapak dengan sistem nasional. Dengan begitu, perdagangan karbon bisa berjalan lebih cepat dan kredibel,” kata Bambang.
Ia juga menekankan perlunya analisis teknis mendalam serta kontribusi dari semua pemangku kepentingan, termasuk penyedia standar internasional seperti Verra, Plan Vivo, dan ART TREES.
“Safeguard harus dipastikan berjalan, perhitungan karbon konsisten, dan nilai kredit karbon yang dihasilkan tinggi agar diakui pasar global,” ujarnya. ***