Banjir Jabodetabek dan Neraca Air yang Tak Seimbang

MORE ARTICLES

Ecobiz.asia – Banjir dan tanah longsor kembali datang menghantam Jabodetabek pada Minggu, 6 Juli 2025. Di Bogor, khususnya kawasan Puncak, longsor terjadi di 21 titik dan banjir meluas ke tujuh titik di 18 kecamatan. Tiga orang meninggal, ratusan rumah rusak, jalan-jalan terputus. Di Jakarta, ratusan rumah di Kebon Pala, Jatinegara, terendam air saat debit Sungai Ciliwung memuncak.

Ini bukan peristiwa luar biasa. Bukan pula kejadian alam yang tiba-tiba. Ini adalah akumulasi dari pembiaran panjang terhadap rusaknya sistem pengelolaan ruang, air, dan lingkungan hidup kita. Jika akar persoalan tidak ditangani, bencana serupa hanya soal waktu.

Beberapa pekan terakhir, langkah penegakan hukum mulai terlihat. Aparat menindak pengembang wisata dan pelaku alih fungsi lahan di kawasan hulu yang terbukti memperparah risiko banjir dan longsor. Dua belas perusahaan wisata dan satu perorangan di Puncak telah dikenai sanksi administratif. Mereka diwajibkan membongkar bangunan dalam waktu 30 hari dan memulihkan kawasan dalam 180 hari. Ini langkah penting, meski belum cukup.

Penegakan hukum lingkungan memang menjadi fondasi untuk memperbaiki arah pembangunan dan mencegah alih fungsi lahan yang membabi buta. Namun, tantangannya besar. Regulasi saling tumpang tindih. Kewenangan tersebar di banyak institusi. Tanpa koordinasi lintas sektor dan komitmen politik yang kuat, hukum mudah berubah jadi simbol belaka.

Read also:  Palu 19 Persen dari Washington: Nasib Kayu Indonesia di Ujung Tanduk

Saya pernah memaparkan data banjir Jakarta di hadapan Dewan Pertimbangan Presiden pada 2013 yang memperlihatkan bagaimana neraca air sangat tidak seimbang. Ketika itu, 3,1 miliar meter kubik air mengalir ke Jakarta dari 12 sungai. Fasilitas tampungan—rawa, kanal, waduk—hanya mampu menahan 2,3 miliar meter kubik. Sisanya, 800 juta meter kubik air liar, menjadi banjir.

asPosisi Jakarta dalam Daerah Aliran Sungai (DAS)

Dari 150 ribu hektare luas enam daerah aliran sungai (DAS) yang membentuk lanskap Jakarta, hanya sekitar 30 persen yang memiliki tutupan vegetasi. Itu 12 tahun lalu. Kini, kondisinya jauh lebih buruk. Alih fungsi lahan untuk perumahan, vila, dan wisata terus meningkat. Kawasan hulu yang seharusnya menjadi zona resapan justru berubah menjadi lahan terbuka yang kedap air.

Di hilir, kondisinya tak kalah kritis. Banyak kawasan Jabodetabek—termasuk Bekasi, Tangerang, Karawang—berada di bawah permukaan laut. Sistem drainase, kanal, dan pompa menjadi penentu utama. Tapi semua itu tak akan sanggup bekerja optimal jika hujan datang bersamaan dari langit dan dari hulu, menyapu masuk lewat sungai-sungai yang meluap.


Ketika itu, 3,1 miliar meter kubik air mengalir ke Jakarta dari 12 sungai. Fasilitas tampungan—rawa, kanal, waduk—hanya mampu menahan 2,3 miliar meter kubik. Sisanya, 800 juta meter kubik air liar, menjadi banjir.

Bencana di hulu dan hilir saling terhubung. Saat hutan-hutan di Puncak, Megamendung, dan Cisarua digusur demi vila dan tempat wisata, daya serap air hilang. Air hujan langsung mengalir ke sungai. Tak sempat meresap. Sungai-sungai meluap, membawa air dan lumpur ke kota. Genangan dan banjir tak bisa dihindari karena ruang terbuka hijau di Jakarta juga makin sempit. Rumah, gedung, dan mal berdiri di atas lahan bekas resapan. Drainase buruk. Izin mendadak longgar.

Read also:  Kayu Tropis, Citra Global: Jejak Panjang Indonesia di Pasar Amerika

Masalah makin rumit karena banyak pihak terlibat, tapi tak satu pun benar-benar memegang kendali. UU Kehutanan, UU Tata Ruang, UU Lingkungan, UU Penanggulangan Bencana—semuanya bicara soal ruang dan air. Tapi siapa yang mengorkestrasi semua itu?

Sementara itu, solusi jangka pendek seperti modifikasi cuaca memang bisa membantu menunda banjir. Tapi sifatnya sementara. Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma.

Kita perlu memulihkan kawasan hulu secara sistematis, merehabilitasi DAS yang rusak, menghentikan alih fungsi lahan yang tak terkendali. Kita harus membongkar bangunan ilegal di zona resapan, mencabut izin yang cacat prosedur, dan memperkuat sistem pengawasan tata ruang.

Read also:  Mempertanyakan Komitmen Perjanjian Paris Kala Emisi Global Terus Meningkat

Di saat yang sama, infrastruktur hilir—kanal, waduk, pompa, pintu air—harus ditingkatkan kapasitasnya. Sistem peringatan dini dibangun. Pemerintah pusat dan daerah duduk satu meja. Sektor swasta dilibatkan. Lembaga pendidikan dan media mendorong kesadaran publik. Ini bukan pekerjaan satu dinas, satu kementerian, atau satu periode pemerintahan.

Sayangnya, saat banjir datang, justru banyak yang memilih tampil di depan kamera: membagikan sembako, menangis bersama korban, lalu mengunggah empati ke media sosial. Kepedulian yang difilmkan, bukan dijalankan. Padahal solusi tak datang dari konten, tapi dari komitmen.

Banjir dan longsor yang melanda Jabodetabek bukanlah musibah semata. Ia adalah peringatan keras dari alam atas kesalahan kita mengelola ruang dan air. Mari berhenti menyalahkan hujan. Mari berhenti pura-pura peduli. Saatnya bertindak menyentuh akar persoalan. ***

Oleh: Dr. Eka Widodo Soegiri (Direktur Perencanaan & Evaluasi Pengelolaan DAS, Kementerian Kehutanan  periode 2011–2014); Tenaga Ahli Menteri LHK tahun 2018-2024; Ketua Umum IPKINDO periode 2018-2023).

TOP STORIES

MORE ARTICLES

Pelajaran Ekowisata Maju di Swiss

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Kehutanan) Ecobiz.asia - Pada penghujung Juni 2025, saya berkesempatan berkunjung ke beberapa negara Eropa Barat: Swiss, Jerman,...

Dari BRGM ke Kemenhut, Strategi Rehabilitasi Mangrove Butuh Konsistensi

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Kehutanan) Ecobiz.asia - Indonesia beruntung memiliki etalase hutan yang lengkap, mulai dari pantai hingga hutan hujan dataran...

Mempertanyakan Komitmen Perjanjian Paris Kala Emisi Global Terus Meningkat

Oleh:  Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Ecobiz.asia - Pada Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties/COP) 21 di Paris,...

Beyond Compliance: Membaca Guidance EUDR 2025 sebagai Peta Jalan Perdagangan Hijau

Oleh: Diah Suradiredja (Pemerhati perdagangan berkelanjutan) Ecobiz.asia - Perdagangan global kini memasuki babak baru, di mana keberlanjutan tidak lagi sekadar jargon, melainkan syarat mutlak untuk...

Palu 19 Persen dari Washington: Nasib Kayu Indonesia di Ujung Tanduk

Ecobiz.asia - Kebijakan tarif baru Amerika Serikat telah menambah babak penting dalam hubungan dagang dengan Indonesia. Angka 19% yang ditetapkan bukan sekadar statistik, melainkan...

TOP STORIES

Punya PLTMH dan Wisata Edukasi, Rantau Dedap Jadi Desa Energi Berdikari

Ecobiz.asia - PT Pertamina (Persero) meresmikan program Desa Energi Berdikari (DEB) di Rantau Dedap, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, dengan menghadirkan fasilitas energi bersih...

Hari Pelanggan Nasional, Pertagas Tegaskan Komitmen Energi Bersih dan Layanan Prima

Ecobiz.asia — PT Pertamina Gas (Pertagas), bagian dari Subholding Gas Pertamina, menegaskan komitmen menghadirkan energi bersih dan layanan prima bagi pelanggan industri, UMKM, hingga...

Indonesia sees healthy watersheds as cornerstone of climate policy, carbon markets

Ecobiz.asia – Keeping Indonesia’s watersheds healthy is critical to tackling climate change and unlocking green finance through the country’s carbon pricing scheme, officials said...

DAS Sehat Jadi Kunci Mitigasi Iklim dan Nilai Ekonomi Karbon

Ecobiz.asia – Menjaga kesehatan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu strategi utama untuk mengatasi perubahan iklim sekaligus membuka peluang pembiayaan hijau melalui Nilai...

Elnusa Gelar Khitanan Massal untuk 75 Anak di Kabupaten PALI

Ecobiz.asia – PT Elnusa Tbk (ELNUSA) menggelar program tanggung jawab sosial bertajuk Sehat Bersama, Harmonis & Terpadu Edukasi (SEHATI) melalui kegiatan khitanan massal di...