Ecobiz.asia – Delegasi petani perempuan Indonesia dari sektor sawit, kopi, kakao, dan karet menyuarakan langsung aspirasi mereka terkait regulasi UK Forest Risk Commodities (UK FRC) dalam forum internasional di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London, Rabu (17/9/2025).
Dalam Multi-Stakeholder Event on Indonesian Sustainable Commodities, para petani menegaskan pentingnya agar aturan keberlanjutan Inggris UK FRC maupun aturan keberlanjutan global lainnya tidak mengabaikan realitas keberadaan mereka yang menjadi bagian penting dari rantai pasok.
Duta Besar RI untuk Inggris, Desra Percaya yang membuka forum tersebut menekankan bahwa keberhasilan transformasi menuju rantai pasok berkelanjutan hanya dapat dicapai jika suara petani kecil diakomodasi.
“Inklusivitas adalah kunci dalam transformasi menuju keberlanjutan, ini berarti penting untuk merangkul seluruh pendapat, termasuk suara para petani kecil,” kata dia.
Selama 15 tahun terakhir, Indonesia telah menerapkan berbagai langkah seperti Timber Legality Verification System (SVLK) dan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), yang memastikan aspek legalitas, perlindungan lingkungan, dan tanggung jawab sosial. Upaya ini juga diperluas ke sektor kopi, karet, dan kakao.
Kerja sama internasional menjadi bagian penting dari langkah tersebut. Dengan Inggris, Indonesia menjalin kemitraan dalam pencapaian target hijau, termasuk FOLU Net Sink 2030, program MELAJU untuk net zero dan infrastruktur hijau, serta Indonesia–UK PACT untuk strategi rendah karbon.
Pada sesi dialog yang dipandu pemerhati tata kelola komoditas berkelanjutan, Diah Suradiredja, para petani menekankan bahwa tanpa dukungan nyata—mulai dari akses teknologi, pelatihan, hingga biaya sertifikasi—petani kecil akan terancam keluar dari pasar global, padahal justru mereka yang menjadi akar dari komoditas unggulan dunia.
Istiqamah, petani kopi dari Aceh, menyampaikan keresahan bahwa kebun kecil berisiko tersingkir hanya karena tidak mampu memenuhi persyaratan administratif.
“Sebagian besar desa kami bergantung pada kopi. Dari kopi, anak-anak bisa bersekolah dan keluarga kami hidup bermartabat. Jangan sampai aturan hanya melihat dokumen, tapi menutup mata dari kenyataan di lapangan,” katanya.
Nada serupa disampaikan Febriani Sumbung, petani kakao asal Papua Barat. Ia menilai syarat pemetaan dan dokumen digital yang rumit berpotensi menutup akses petani kecil ke pasar global. “Belajarlah dari kelemahan EUDR. Jangan sampai UK FRC menjadi tembok baru yang meminggirkan petani kecil,” tegasnya.
Kusniati, petani karet dari Jambi, menyoroti biaya sertifikasi dan pemetaan yang terlalu mahal bagi pekebun kecil. Sementara Nurhayati, petani sawit dari Merangin, mengingatkan bahwa perempuan desa adalah tulang punggung rantai pasok. “Setiap tetes minyak sawit ada tangan perempuan desa di baliknya. Kami hanya butuh dukungan untuk memenuhi syarat minimum agar tetap bisa masuk ke pasar Inggris,” ujarnya.
Selain menyampaikan aspirasi kepada pembuat kebijakan, para petani juga berdialog langsung dengan pelaku industri. Wakil dari Ferrero menegaskan komitmen perusahaan untuk bekerja sama dengan petani kecil Indonesia demi rantai pasok yang lebih berkelanjutan. ***