Ecobiz.asia – Indonesia tengah berada dalam fase krusial menuju transisi energi, menyusul komitmen nasional untuk menurunkan emisi karbon dan meningkatkan bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Salah satu strategi yang diandalkan oleh pemerintah dalam sektor pembangkitan listrik adalah penerapan co-firing, yakni pencampuran biomassa sebagai bahan bakar tambahan dalam Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Skema ini dinilai sebagai opsi cepat dan murah untuk mengurangi ketergantungan terhadap batu bara tanpa perlu membangun pembangkit baru.
Namun di balik janji tersebut, realisasi co-firing menghadapi tantangan: dari ketersediaan pasokan biomassa yang berkelanjutan, kualitas bahan bakar, hingga keterlibatan masyarakat lokal yang cenderung minim. Sebagian besar implementasi co-firing sejauh ini masih bertumpu pada pasokan limbah industri atau sekam sawit dari sektor privat, tanpa memberdayakan petani atau komunitas sekitar hutan.
PLTU Paiton, sebagai salah satu pembangkit terbesar di Indonesia, mencoba menawarkan pendekatan berbeda. Sejak 2023, PT Paiton Energy menjalin kerja sama dengan dua Kelompok Tani Hutan (KTH)—Alam Subur dan Ranu Makmur—yang mengelola kawasan perhutanan sosial di Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo. Melalui nota kesepahaman (MoU), kedua KTH ini rencananya akan menyuplai biomassa dari tanaman gamal (Gliricidia sepium), pohon multipurpose yang cepat tumbuh dan cocok sebagai bahan baku energi terbarukan.
Ihwan, S.Sos, M.Si. Analis Kebijakan Ahli Madya, Kementerian Kehutanan
Kolaborasi ini menjadikan PLTU Paiton (PT. Paiton Energy) sebagai pionir dalam skema co-firing berbasis perhutanan sosial, dengan total luas pilot project mencapai 737 hektare. Dukungan teknis diberikan oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang membantu pemilihan bibit unggul, sistem tanam, hingga monitoring pertumbuhan. Target jangka menengahnya adalah menanam lebih dari 25.000 bibit gamal per tahun di kedua KTH tersebut. Perjanjian kerjasama yang ditandatangi pada 24 Februari 2025 dengan kedua KTH tersebut, dalam rangka penanaman pohon gamal dan tanaman produktif di kawasan hutan sosial seluas lebih dari 200 hektar selama 6 (enam) tahun (2025 – 2030).
Meski menjanjikan, model ini belum lepas dari tantangan struktural. Harga beli biomassa yang belum layak secara ekonomi, minimnya infrastruktur panen dan pengolahan, serta belum adanya kepastian kontrak jangka panjang bagi KTH menjadi hambatan utama. Di sisi lain, potensi skema ini untuk direplikasi secara nasional sangat besar—baik sebagai model energi bersih, maupun sebagai strategi penurunan emisi karbon dan juga untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat petani hutan.
Dukungan Kebijakan
Model co-firing berbasis perhutanan sosial seperti yang tengah diinisiasi di PT. Paiton Energy oleh KTH Alam Subur dan Ranu Makmur sesungguhnya telah berjalan selaras dengan arah kebijakan nasional di dua sektor: transisi energi dan reforma agraria kehutanan. Namun, tanpa penguatan regulasi, kelembagaan, dan insentif ekonomi, skema ini terancam tidak berkelanjutan.
- a. Transisi Energi dan Co-Firing
Pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, menetapkan target nasional bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Dalam peraturan tersebut, co-firing di PLTU disebut sebagai bagian dari strategi jangka pendek untuk memanfaatkan biomassa sebagai energi terbarukan.
Selain itu, dalam Permen ESDM No. 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, biomassa dari sumber lestari (sustainable biomass) seperti tanaman energi dari perhutanan sosial dapat dikategorikan sebagai EBT.
- b. Perhutanan Sosial dan Penguatan Ekonomi Masyarakat Tani Hutan
Co-firing yang melibatkan KTH juga sejalan dengan arah kebijakan Kementerian Kehutanan dalam Peraturan Menteri LHK No. P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, dan diperbaharui dalam P.9 tahun 2021 di mana masyarakat diberi akses legal mengelola hutan negara hingga 35 tahun untuk meningkatkan kesejahteraan dan kelestarian hutan. Salah satu skema pemanfaatannya adalah budidaya tanaman energi.
Lebih lanjut, Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Pemberdayaan UMKM dan Koperasi mendorong kemitraan sektor swasta dengan pelaku usaha lokal, termasuk koperasi dan kelompok tani.
- c. Pemberdayaan Masyarakat dan SDGs
Skema co-firing berbasis perhutanan sosial mendukung capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya Tujuan 7 (Energi Bersih dan Terjangkau), Tujuan 13 (Penanganan Perubahan Iklim), dan Tujuan 15 (Melindungi Ekosistem Daratan). Namun, capaian ini tidak bisa dilepaskan dari intervensi kebijakan yang memastikan keadilan ekonomi dan jaminan keberlanjutan lingkungan.
Masalah dan Kesenjangan Kebijakan
Meskipun program co-firing ini menjanjikan secara ekologis dan sosial, terdapat sejumlah tantangan kebijakan harus menjadi perhatian bagi semua pihak terutama pengambil kebijakan. Tidak adanya skema harga atau feed-in tariff biomassa dari petani. Harga beli masih ditentukan secara sepihak dan belum menutup biaya produksi. Minimnya akses pembiayaan hijau dari perbankan dan BLU untuk koperasi KTH, karena status legal dan kapasitas kelembagaan yang masih lemah.
Ketiadaan kebijakan afirmatif untuk kontrak jangka panjang antara PLTU dan KTH sebagai pemasok biomassa rakyat. Dukungan infrastruktur produksi—seperti gudang, alat cacah biomassa, dan kendaraan pengangkut—masih belum tersedia dari pemerintah daerah maupun desa.
Jika tantangan-tantangan di atas ditangani, model co-firing berbasis hutan rakyat ini dapat direplikasi di ratusan PLTU di Indonesia yang berada di sekitar wilayah perhutanan sosial. Menurut data KLHK per 2024, terdapat lebih dari 8 juta hektare izin perhutanan sosial aktif di Indonesia—sekitar 1 juta hektare di antaranya berpotensi dikembangkan untuk tanaman energi seperti gamal, lamtoro, kaliandra, dan nyamplung. Dukungan lain saat ini ada 10.132 KUPS starup UMKM perhutanan sosial untuk melakukan usaha pemanfaatan atau pemungutan HHBK, Jasa lingkungan, dan hasil hutan kayu.
Demikian pula terdapat sebanyak 233 KUPS yang jaraknya berdekatan sekitar 50 KM dengan 33 PLTU di 23 Provinsi. Hal ini sangat strategis untuk berkolaborasi dan membangun kerjasama dalam pengembangan energi hijau disaat transisi energi saat ini. Selain mendukung EBT juga akan memberikan benefit bagi pendapatan petani serta kelestarian hutan terjaga.
Kemitraan Perhutanan Sosial
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, sangat dimungkinkan dibentuknya kerja sama kemitraan dengan para mitra, baik dari BUMN maupun pihak swasta lainnya. Mitra usaha dalam kerja sama Perhutanan Sosial memiliki peran penting dalam penguatan kelembagaan, transfer teknologi sederhana, peningkatan nilai tambah produk, kewirausahaan, pembiayaan, serta penguatan akses pemasaran.
Hingga saat ini, terdapat lima perusahaan BUMN/swasta yang telah menandatangani Pernyataan Kesanggupan atau Deklarasi Mendukung Usaha Pengembangan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) bersama Kementerian Kehutanan. Kelima perusahaan tersebut adalah PT. Paiton Energy, PT. Semen Padang, PT. Pertamina, PT. Indonesia Power, dan PT. Astra Internasional Tbk.
PT Paiton Energy memperkuat komitmennya terhadap pelestarian lingkungan hidup melalui penandatanganan pernyataan dukungan terhadap pengembangan KUPS bersama KLHK. Dukungan ini merupakan bagian dari bentuk nyata Inovasi Sosial dan Lingkungan perusahaan.
PT Paiton Energy akan berperan aktif dalam melaksanakan inovasi sosial dan lingkungan, khususnya dengan mendukung peningkatan kinerja program Perhutanan Sosial. Pelibatan peserta PROPER dalam pengelolaan Perhutanan Sosial akan dilakukan melalui berbagai kegiatan, seperti penguatan kelembagaan, pengembangan pengelolaan kawasan, serta pengembangan kewirausahaan dan kerja sama usaha.
Mengutip pernyataan Chief Financial Officer (CFO) PT Paiton Energy, Bayu Widyanto, menyatakan bahwa kerja sama dengan KUPS merupakan bagian dari program Paiton bErsiNERGY dan menjadi salah satu langkah konkret perusahaan dalam mendukung adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, khususnya melalui sektor kehutanan dan tata guna lahan yang menjadi bagian penting dari program ini. Di sisi lain, kemitraan ini tidak hanya memberi manfaat langsung bagi kelompok KUPS, tetapi juga memperkuat upaya perusahaan dalam membangun ekosistem biomassa.
Kapasitas Cofiring di PLTU Paiton-PT POMI
PLTU Paiton adalah pembangkit listrik di Indonesia yang menjadi salah satu penyumbang energi listrik terbesar di Pulau Jawa dan Bali. PLTU Paiton terletak di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. PLTU ini menjadi pemasok kebutuhan listrik untuk wilayah Jawa-Bali.
PLTU Paiton berdiri sudah mencapai lebih dari 24 tahun, dan telah berkontribusi dalam memasok energi listrik ke daerah Jawa hingga Bali. PLTU ini menjadi salah satu kompleks pembangkit listrik tenaga uap yang terbesar di Pulau Jawa. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton berlokasi di kawasan pesisir Desa Binor, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Luas lahan kompleks PLTU Paiton mencapai 400 hektar dengan total kapasitas daya sebesar 4600 megawatt (MW).
Hal ini menjadikan PLTU Paiton sebagai salah satu pembangkit listrik tenaga uap terbesar di Indonesia. Kawasan PLTU ini terletak di pesisir Selatan Pantai Jawa dan diapit oleh dua Kabupaten yaitu Kabupaten Probolinggo dan Situbondo. Kawasan Paiton terdiri dari 9 unit pembangkit listrik yang dikelola oleh beberapa perusahaan dan pihak-pihak yang bertanggung jawab. PLTU unit 1 dan 2 Paiton dikelola oleh PT Pembangkit Jawa Bali (PJB).
Untuk PLTU unit 3 Paiton dikelola oleh Paiton Energy, sedangkan unit 4 masih kosong dan belum dikelola. Adapun unit 5 dan 6 dikelola oleh PT Java Power, unit 7 dan 8 dikelola oleh PT Paiton Energy, serta unit 9 dikelola oleh PT PLN Persero. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton memiliki total kapasitas sebesar 4600 megawatt (MW) yang terdiri 8 unit pembangkit yang dikelola oleh beberapa perusahaan, termasuk PT PLN Nusantara Power yang merupakan anak perusahaan PT PLN Persero.
PLTU Paiton unit 3, 7 dan 8 ini dimiliki oleh Paiton Energy Company yang dioperasikan PT. POMI yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik Jawa Madura dan Bali. Proyek ini adalah implementasi dari kebijaksanaan pemerintah Indonesia dalam pertumbuhan diversifikasi energi. Dalam hal ini, kandungan batubara yang ada di Indonesia akan dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit tenaga listrik, dan mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi.
POMI awalnya perusahaan ini berdiri dengan nama PT MOMI atau PT. Mission Operation and Maintenance Indonesia, yang ditetapkan sebagai Perseroan Terbatas pada tahun 1995. PT. POMI didirikan sebagai Perusahaan PMA yang dipercaya untuk mengoperasikan dan memelihara Paiton Private Project Phase I – Paiton Unit 7 dan 8 yang merupakan milik PT. Paiton Energy Company, yaitu 2 unit Coal Power Plant dengan kapasitas terpasang 615 MW setiap unit.
POMI memulai opersional secara komersial tahun 1999, untuk unit 7 dan 8. Dalam perjalanannya sejak tahun 1997 PT. MOMI berganti nama menjadi PT. Ediso Mission Operation and Maintenance Indonesia (PT. EMOMI). Namun pada Desember 2005, PT. EMOMI digantikan oleh PT. International Power Mitsui Operation and Maintenance Indonesia (PT. IPMOMI). Dan akhir tahun 2017, PT. IPMOMI digantikan oleh PT. Paiton Operation and Maintenance Indonesia (PT. POMI). PLTU Paiton Unit 7 dan 8 diharapkan mampu memenuhi kebutuhan listrik masyarakat wilayah Jawa dan Bali.
PLTU Unit 3 Paiton merupakan salah satu proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik tahap II dengan kapasitas 1 x 815 NMW yang berbahan bakar batubara. Bilamana kemampuan beroperasi 90% dalam setahun maka perkiraan total energi yang dihasilkan adalah : 6,425,460 MWH / tahun dan mengkonsumpsi batubara sebesar 3,06 Juta Ton pertahun.
POMI juga berkomitmen untuk menujukkan dukungan aktif pada kegiatan ramah lingkungan untuk menciptakan linkungan yang bersih dan sehat. PT. POMI mendapt menghargaan dalam program lingkungan hidup PROPER memberikan bukti kepatutan perusahan kepada pemerintah Indonesia. Dalam program tanggung jawab sosial perusahan mereapkan tiga prinsip utama yaitu lingkungan bersih, kontribusi terhdap komunitas lokasl, da kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
Studi kebijakan pengembangan EBT Biomassa dari Perhutanan Sosial difokuskan pada PT. POMI yang mengelola 3 pembangkit listrik dengan total kapasitas terpasang sebesar 2.045 MW. PT. POMI bekerja sama dengan Institut Teknologi Surabaya (ITS) telah melakukan ujicoba cofiring pada Unit 7 sebanyak 2 kali yaitu: pertama, Ujicoba ke-1 pada tanggal 30 Mei 2023 dengan memanfaatkan 60 ton wood pellet untuk dicampur dengan batubara dengan ratio 0,8 – 1,6%. Ujicoba ke-2 pada tanggal 29 September 2024 dengan memanfaatkan 40 ton wood pellet untuk dicampur dengan batubara dengan ratio 2,39%.
Ujicoba cofiring tersebut tidak memerlukan adanya instalasi peralatan baru. Analisa dari hasil ujicoba tersebut cukup berhasil, dan tidak menghasilkan dampak negatif baik di pabrik batubara, boiler dan selama proses pembakaran.
Namun ke depan, target nasional mendorong peningkatan rasio cofiring hingga 3–5 persen. Jika rasio itu tercapai, maka kebutuhan biomassa di PLTU Paiton bisa melonjak hingga 40 ribu ton per tahun—jumlah yang tentu tidak kecil, dan memerlukan pasokan yang stabil dan terencana.
Salah satu sumber utama biomassa yang mulai dilirik adalah tanaman gamal (Gliricidia sepium), yang dibudidayakan oleh kelompok tani hutan (KTH) dalam skema perhutanan sosial. Gamal dipilih karena sifatnya yang cepat tumbuh, mudah dibudidayakan, dan memiliki nilai kalori yang cukup untuk cofiring
Untuk itu, dalam rangka pemenuhan cofiring kedepan PT. POMI telah mengembangkan penanaman tanaman energi di areal Perhutanan Sosial di wilayah Probolinggo melalui kerjasama dengan melakukan penandatanganan MoU dengan dua pemegang Izin Hutan Kemasyarakatan yaitu KTH Alam Subur dan KTH Ranu Makmur. Pengembangan tanaman Gamal tersebut dilakukan melalui prinsip 3 F yaitu Food, Feed, dan Fuel.
POMI didampingi Pusat Kajian Kehutanan Sosial Fahutan UGM telah membuat demplot penanaman Gamal pada bulan Januari – Maret 2024. Gamal berfungsi ganda: sebagai bahan baku biomassa co-firing dan sebagai pohon peneduh dan penambat nitrogen yang baik untuk konservasi tanah.
Luas demplot tanaman tersebut seluas 10 Ha dengan jumlah bibit yang sudah ditanam sebanyak 25.000 Ha pada 2 lokasi PS tersebut. Penanaman dilakukan secara pola lorong, dengan jarak tanam 6 m x 1 m dan menyesuaikan keberadaan tanaman tumpang sari yang telah ditanam sebelumnya.
Dukungan Kelompok Tani Hutan terhadap Kebijakan Co-firing Berbasis Perhutanan Sosial
Program co-firing biomassa di PLTU Paiton bukan hanya proyek teknis pengganti sebagian batu bara, tetapi juga merupakan kolaborasi sosial-ekologis yang melibatkan komunitas petani hutan. Di Kabupaten Probolinggo, dua KTH yakni KTH Alam Subur dan KTH Ranu Makmur telah tampil sebagai pelopor kemitraan energi bersih berbasis perhutanan sosial. Dukungan mereka bersifat nyata, terstruktur, dan berlandaskan semangat kemandirian.
Pada tahun 2024 anggota kedua kelompok terlibat dalam penanaman dan perawatan sekitar 25.000 bibit gamal, yang disuplai oleh PT. Paiton Energy dan didampingi oleh Fakultas Kehutanan UGM. Tanaman tersebut sekitar 85% tumbuh dengan baik. Ini menunjukkan kesiapan petani untuk terlibat aktif dari sisi produksi, serta keterbukaan terhadap inovasi dan pendampingan teknis.
Baik KTH Alam Subur maupun KTH Ranu Makmur telah membentuk struktur internal untuk menangani produksi biomassa, seperti divisi tanam, panen, dan pengelolaan hasil. Mereka juga mulai membangun koperasi sebagai badan usaha bersama, sebagai syarat akses pembiayaan dan legalitas usaha. Dalam pertemuan dengan PT. Paiton Energy, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur dan Balai Perhutanan Sosial Wilayah Jawa, kedua KTH bahkan menyampaikan permohonan bantuan agar diberikan mesin pencacah biomassa mini dan pembangunan gudang penyimpanan, sebagai bentuk investasi jangka menengah.
Dampak Nilai Ekonomi bagi Petani dan Hutan Sosial
Bagi KTH seperti Ranu Makmur dan Alam Subur di Kabupaten Probolinggo, peluang ini menjadi angin segar. Mereka bukan hanya menanam pohon untuk rehabilitasi lahan, tapi juga menjadi bagian dari rantai pasok energi bersih nasional. Namun di sisi lain, muncul tantangan soal skala produksi: untuk memenuhi permintaan ribuan ton biomassa per tahun, diperlukan luas tanam, tenaga kerja, dan sistem logistik yang tidak kecil.
Jika tidak dikelola dengan cermat, tekanan produksi bisa menimbulkan resiko baru bagi hutan sosial—misalnya, alih fungsi lahan untuk monokultur gamal, atau ketimpangan posisi tawar petani dalam rantai pasok energi.
Namun, penting diingat bahwa produksinya butuh pendekatan holistik—sistem budidaya yang tahan dari monokultur, mata rantai logistik untuk memanen dan mengantar kayu, serta mekanisme pengolahan dan kontrak tetap dari PLTU—agar petani tak diuntungkan sesaat lalu terjebak model pasif dalam rantai pasok. Menurut data perhitungan ekonomi dari berbagai sumber terkait pertanyaan berapa nilai ekonomi bagi kelompok tani bila program kerjasama ini berkelanjutan. Berikut dapat kita analisa bila program cofiring di PLTU Paiton di periode pertama (1 %) dengan kebutuhan biomassnya mencapai ±40 ton/hari, maka sekitar didapat 1.200 ton/bulan atau 14.400 ton/tahun. Bila dihitung dari target penguatan sampai 3–5 % maka kebutuhan melonjak mencapai 40–60 ribu ton biomassa/tahun.
Baca juga: Manfaatkan Bahan Baku dari Sumber Lestari, Industri Biomassa Kayu Berpotensi Tumbuh Berkelanjutan
Gamal merupakan alternatif tepat panen dua kali/tahun, dan produktivitas mencapai ±40 ton/ha, dengan harga jual Rp 300 ribu/ton, maka potensi pendapatan Rp 12 juta/ha/tahun. Untuk satu KTH dengan 50 ha, total potensi pendapatan dapat mencapai Rp 600 juta/tahun.
Harapan Petani Ke Depan
Aspirasi terhadap Kebijakan yang mendukung saat berdiskusi dengan pendamping dan pemerintah daerah, kedua KTH menyuarakan tiga hal utama: Perlunya harga beli biomassa yang adil dan disesuaikan dengan biaya produksi, agar petani memperoleh insentif ekonomi yang layak; Pentingnya kontrak jangka menengah-panjang dengan PLTU, agar ada kepastian pasar dan keberlangsungan usaha; Harapan agar pemerintah daerah dan pusat memfasilitasi pembiayaan, bantuan alat, dan pelatihan pengelolaan tanaman energi sebagai bagian dari program perhutanan sosial terintegrasi; KTH juga berharap agar co-firing diakui bukan sekadar sebagai program energi bersih, melainkan juga sebagai bagian dari pembangunan ekonomi masyarakat tani hutan dan pengakuan atas hak kelola masyarakat dalam kawasan hutan. ***
Oleh: Ihwan, S.Sos, M.Si. (Analis Kebijakan Ahli Madya, Kementerian Kehutanan)