Hadapi Regulasi EUDR, Perempuan Petani Kopi, Sawit, Kakao, dan Karet Indonesia Suarakan Harapan

MORE ARTICLES

Ecobiz.asia – Di hadapan diplomat, pelaku usaha, dan pembuat kebijakan Eropa, suara perempuan petani dari pelosok Indonesia menggema dalam pertemuan multi pihak yang digelar Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa di Brussels, Belgia, Senin (15/9/2025).

Mereka datang dari Bali, Sulawesi Selatan, Papua Barat, Aceh, Jawa Barat, hingga Jambi dan Sumatera Utara, membawa kisah perjuangan sekaligus harapan agar perdagangan global termasuk kebijakan EUDR di Uni Eropa, tidak meninggalkan petani kecil.

Dari Bali, Agung Widiastuti mewakili Koperasi Kakao Kerta Semaya Samaniya (KSS) yang sejak 2015 berhasil menembus pasar internasional dengan kakao fermentasi. Koperasi yang sempat bangkrut pada 2008 itu bangkit lewat program Kakao Lestari dan kini mengekspor ke Prancis, Belanda, Belgia, hingga Jepang.

Tahun lalu, produk mereka bahkan meraih Silver Award dalam ajang Cacao of Excellence. “Kami menjaga kebun dengan sistem agroforestri, tapi regulasi baru Eropa menuntut biaya tinggi untuk peta digital dan sertifikasi. Tanpa dukungan, ribuan petani kecil bisa tersingkir,” ujarnya.

Kami menjaga kebun dengan sistem agroforestri, tapi regulasi baru Eropa menuntut biaya tinggi untuk peta digital dan sertifikasi. Tanpa dukungan, ribuan petani kecil bisa tersingkir,

Agung Widiastuti (Koperasi Kakao Kerta Semaya Samaniya/KSS)

Dari Sulawesi Selatan, Ayu Antariksa, Ketua Koperasi Tani Masagena, menceritakan perjuangan mendampingi lebih dari 2.400 petani di lahan seluas 2.000 hektar. Koperasi itu memegang sertifikat RA–UTZ dan mulai mengembangkan produk cokelat olahan. “Kami ingin rantai usaha dari hulu ke hilir tetap lestari. Tapi aturan jejak rantai pasok yang rumit bisa membuat banyak petani kecil tidak mampu bertahan,” katanya.

Read also:  Dialog dengan Pelaku Industri Inggris, Petani Indonesia Suarakan Dampak Regulasi Perdagangan Global

Suara serupa datang dari Papua Barat. Febriani Sumbung, mewakili Koperasi dan PT Ebier Suth Cokran, menjelaskan bagaimana 1.200 hektar kebun kakao organik mereka dikelola bersama 170 petani, mayoritas orang asli Papua. Produk mereka yang telah meraih Gold Award di Chocoa Fair Amsterdam 2023 kini diekspor ke Eropa, Jepang, hingga Amerika Serikat.

“Kami bisa menjaga hutan sekaligus menghasilkan kakao premium. Tapi kami khawatir pasar Eropa justru tertutup bagi petani kecil karena regulasi yang tidak berpihak,” ungkapnya.

Dari sisi kopi, Nenek Eti, 71 tahun, Ketua Koperasi Perempuan WANOJA di Jawa Barat, mengisahkan bagaimana perempuan menjadi tulang punggung dalam menjaga kebun kopi rakyat. Kopi WANOJA kini menjadi specialty coffee di Belanda dan Jerman. Namun biaya sertifikasi internasional seperti Fairtrade dan Organic yang mencapai ratusan juta rupiah menjadi beban berat.

Read also:  Kemenhut Dorong Klaster Komoditas untuk Optimalkan Potensi 8,3 Juta Hektare Perhutanan Sosial

“Jika EUDR hanya menerima kopi dari lahan bersertifikat, maka hasil kebun kami bisa ditolak, meski kami merawatnya dengan tangan sendiri,” katanya.

Pertemuan multi pihak yang digelar Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa di Brussels dihadiri yang dihadiri diplomat, pelaku usaha, dan pembuat kebijakan Eropa.

Dari Aceh, Isti yang memimpin koperasi beranggotakan hampir 1.000 petani menegaskan bahwa kopi Arabika Aceh adalah identitas budaya, bukan sekadar komoditas. Namun kondisi kebun yang tertekan dampak El Niño dan syarat ketat pasar Eropa membuat keberlanjutan terasa semakin menantang.

Tidak hanya kopi dan kakao, petani kelapa sawit perempuan dari Jambi dan Sumatera Utara juga menyuarakan keresahan serupa. Umi Syamsiatun dari BUMDes Harapan Makmur di Merangin, Cici Tiansari dari Koperasi Agro Tani Lestari di Sarolangun, dan Nurhayati dari Koperasi UD Lestari di Simalungun menegaskan bahwa sertifikasi RSPO dan ISPO bukan sekadar dokumen, tetapi martabat petani kecil.

“Sawit bukan hanya komoditas, tapi sumber pangan utama, biaya sekolah anak, biaya kesehatan keluarga, dan juga identitas kami sebagai petani perempuan. Jika akses pasar terganggu, kamilah yang pertama merasakan dampaknya,” kata Umi.

Mereka mengingatkan bahwa regulasi Uni Eropa, seperti EUDR, meski lahir dari semangat melindungi hutan dan iklim, berisiko menyingkirkan petani kecil yang kesulitan memenuhi persyaratan teknis dan administrasi.

“Kami khawatir sawit petani kecil hilang dari rantai pasok global bukan karena menebang hutan, tapi karena tidak mampu melengkapi data digital yang diminta. Tanpa solusi, kami hanya akan terdorong ke pasar gelap,” tegas Nurhayati.

Read also:  Kelompok Perhutanan Sosial Raih Cuan Rp2 Miliar per Tahun, Contoh Penggerak Ekonomi Hijau

Para petani sepakat, melindungi hutan adalah tujuan mulia, tapi keberlanjutan tidak boleh mengorbankan mereka yang setiap hari merawat tanah dan pohon. “Jangan sampai keberlanjutan hanya melindungi pohon, tetapi melupakan manusia yang merawatnya,” tegas Agung Widiastuti.

Sementara itu, pemerhati tata kelola komoditas berkelanjutan Diah Suradiredja menegaskan bahwa EUDR seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat posisi petani kecil, bukan sebaliknya.

“EUDR bisa menjadi alat untuk memastikan rantai pasok global lebih berkeadilan, tetapi harus diiringi dengan dukungan pendataan, pendanaan, dan penguatan kapasitas petani kecil. Jika tidak, kita hanya akan menciptakan eksklusi baru yang meminggirkan kelompok paling rentan,” ujarnya.

Diah menambahkan bahwa pemerintah Indonesia, pelaku usaha, dan mitra internasional perlu membangun sistem pendataan lahan yang inklusif dan terjangkau. “Data polygon dan koordinat GPS jangan hanya menjadi beban biaya bagi petani kecil. Harus ada pembiayaan kolektif, transfer teknologi, dan pendampingan agar mereka bisa memenuhi standar global tanpa kehilangan akses pasar,” katanya.

Ia juga mengingatkan bahwa keberlanjutan harus dilihat secara holistik. “Kita tidak hanya bicara tentang melindungi hutan, tetapi juga melindungi manusia yang merawat hutan itu. Tanpa petani kecil, rantai pasok pangan dan komoditas berkelanjutan akan runtuh,” tegasnya. ***

TOP STORIES

MORE ARTICLES

Dialog dengan Pelaku Industri Inggris, Petani Indonesia Suarakan Dampak Regulasi Perdagangan Global

Ecobiz.asia — Petani kecil Indonesia menyuarakan langsung dampak regulasi perdagangan global, termasuk regulasi deforestasi Uni Eropa (EUDR), saat berdialog dengan pelaku industri Inggris di...

Kelompok Perhutanan Sosial Raih Cuan Rp2 Miliar per Tahun, Contoh Penggerak Ekonomi Hijau

Ecobiz.asia — Kelompok Tani Cinta Mangrove, pengelola perhutanan sosial di Desa Perupuk, Kecamatan Lima Puluh Pesisir, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, berhasil meraup pendapatan...

APP Group Luncurkan Platform Keberlanjutan ‘Regenesis’, Siapkan Dana Jumbo untuk Restorasi Hutan

Ecobiz.asia — Asia Pulp & Paper (APP) Group meluncurkan platform keberlanjutan baru bernama Regenesis dengan komitmen pendanaan sebesar 30 juta dolar AS per tahun...

Petani Perhutanan Sosial Berharap Pelatihan Agroforestri Bantu Tingkatkan Produksi dan Harga Jual

Ecobiz.asia - Petani pengelola perhutanan sosial berharap pelatihan agroforestri yang digelar Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dapat membantu petani meningkatkan produksi kopi...

Kemenhut-Kemnaker Dorong Hutan Lestari Lewat Pelatihan Agroforestri

Ecobiz.asia – Kementerian Kehutanan (Kemenhut) bersama Kementerian Ketenagakerjaan menggelar Pelatihan Agroforestri sebagai upaya mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan sekaligus menciptakan lapangan kerja hijau (green jobs). Menteri...

TOP STORIES

Indonesian Smallholders Voice Impact of Global Trade Rules in Dialogue with UK Industry

Ecobiz.asia — Indonesian smallholder farmers voiced their concerns over the impact of global trade regulations, including the European Union Deforestation Regulation (EUDR), in a...

Dialog dengan Pelaku Industri Inggris, Petani Indonesia Suarakan Dampak Regulasi Perdagangan Global

Ecobiz.asia — Petani kecil Indonesia menyuarakan langsung dampak regulasi perdagangan global, termasuk regulasi deforestasi Uni Eropa (EUDR), saat berdialog dengan pelaku industri Inggris di...

ENSIA 2025: Pemerintah Tekankan Dunia Usaha Harus Jadi Motor Inovasi Hijau

Ecobiz.asia — Pemerintah menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mungkin tercapai tanpa keberlanjutan, dan dunia usaha harus menjadi motor inovasi hijau untuk menghadapi risiko perubahan...

Menteri Bahlil Lantik Empat Pejabat Eselon I Kementerian ESDM: Ingatkan Soal Hilirisasi

Ecobiz.asia — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia melantik dan mengambil sumpah empat Pejabat Tinggi Madya (Eselon I) di lingkungan Kementerian...

Kemenhut Ajukan Modifikasi Batas Hutan Warisan Dunia UNESCO demi Pemanfaatan Panas Bumi

Ecobiz.asia — Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengajukan permohonan modifikasi batas kawasan konservasi yang berstatus Warisan Dunia UNESCO agar potensi panas bumi di dalamnya dapat dimanfaatkan. Potensi...