Ecobiz.asia — Petani kecil Indonesia menyuarakan langsung dampak regulasi perdagangan global, termasuk regulasi deforestasi Uni Eropa (EUDR), saat berdialog dengan pelaku industri Inggris di London, Rabu (17/9/2025).
Suara mereka menegaskan bahwa aturan global hanya akan berkelanjutan jika melibatkan mereka yang berada di ujung rantai pasok.
Dialog yang berlangsung di KBRI London itu dipandu oleh pemerhati tata kelola perdagangan komoditas berkelanjutan, Diah Suradiredja.
Sejumlah pelaku industri pangan dan perdagangan Inggris hadir, di antaranya CEO Ellron Consulting Services Cheryl Ellron; Head of Public Affairs Ferrero UK Richard Laming; George Eddell dari ADM; Central Responsible Sourcing Manager Bakkavor Fiona Wheatley; Executive Director British Coffee Association Paul Rooke; President National Edible Oil Distributors Association (NEODA) Gary Lewis; serta perwakilan EFECA, termasuk Jonathan Gorman, Judith Murdoch, Phoebe Baker, dan Conal Judd-English.
Dari pihak Indonesia, hadir pula CEO YEL 360 Coffee Diana Kosmanto; CEO Mahorahora Slamet Sudijono; Koordinator Fungsi Ekonomi KBRI London Raksa Ibrahim Permana; serta Atase Perdagangan KBRI London Ayu Siti Maryam.
Pada kesempatan itu, Diah menekankan pentingnya mendengar suara petani kecil. “Terlalu sering petani kecil dibicarakan, tetapi tidak diajak bicara. Hari ini, kita ingin mengubah itu,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa petani merupakan tulang punggung sektor kakao, kopi, sawit, dan karet Indonesia, yang seharusnya dilibatkan dalam diskusi kebijakan perdagangan berkelanjutan.
Dua petani perempuan, Agung Widiastuti dari Bali dan Cici Tiansari dari Jambi, menjadi pembicara utama. Agung, Ketua Koperasi Kakao Kerta Semaya Samaniya (KSS) di Jembrana, Bali, menceritakan bagaimana koperasinya yang beranggotakan lebih dari 400 petani kini menembus pasar internasional.
Ia menegaskan bahwa petani kecil berperan penting dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), mulai dari pengentasan kemiskinan hingga aksi iklim. “Kami ingin hasil kerja kami tetap bisa hadir di meja dunia,” katanya.
Sementara itu, Cici Tiansari, petani sawit dari Sarolangun, Jambi, menyoroti kesulitan yang dihadapi petani kecil dalam memenuhi persyaratan teknis EUDR, seperti peta polygon dan dokumen digital. “Untuk perusahaan besar mungkin tidak masalah, tapi bagi kami ini sangat berat. Bahkan sinyal internet di desa sering tidak ada,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa tanpa solusi, petani kecil terancam kehilangan akses pasar Eropa. “Harapan kami sederhana: tolong jangan tinggalkan kami. Bantu agar kami bisa ikut serta secara adil dan inklusif,” katanya.
Forum ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap produk kakao, kopi, karet, maupun sawit, terdapat jutaan keluarga petani kecil. Dengan membuka ruang dialog di London, Indonesia berharap regulasi global seperti EUDR dapat diterapkan secara lebih inklusif dan mempertimbangkan kondisi nyata di lapangan.
Dialog dengan pelaku industri Inggris itu menjadi bagian dari Roadshow Petani Komoditas Unggulan Indonesia ke sejumlah kota di Eropa. Selain London, mereka sudah bertemu dengan multi pihak di Brussels, Belgia dan akan melanjutkan pertemuan di Roma, Italia. ***